Setelah Silla beranjak dewasa, ia punya kehidupan sendiri di kota. Hidup jauh dari orang tuanya yang tinggal di desa, ia menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya dulu seorang petani yang rajin. Namun kini beliau sudah sakit-sakitan. Sedangkan ibunya yang masih sehat berusaha membantu dengan berjualan hasil panen bumi dari petani lain.
Tanpa sepengetahuan orang tuanya, Silla selalu bermimpi buruk tiap malam. Ia kerap menyaksikan ulang kejadian yang menimpa mendiang adiknya di rumah bambu.
Ketika bekerja di kantor, Silla harus berpura-pura bak tak ada beban pada punggungnya. Tanpa ia sadar, sebenarnya ia menjalani trauma yang berat. Akibat kenangan-kenangan buruk pada masa itu, Silla kesulitan tidur nyenyak. Lalu ia jadi kepikiran; apa yang menyebabkan dirinya terngiang-ngiang mimpi buruk yang sama?
Dari waktu ke waktu, ia suka merenung. Ia mencoba mengingat hal-hal yang pernah terjadi di desa. Lalu ia teringat tradisi yang selalu dilakukan para penduduk saat itu; yaitu menembangkan kidung. Apalagi mereka suka mengaitkannya dengan dongeng dewi padi. Apa memang ada hubungannya dengan peristiwa lampau—yang selalu dibanggakan para penduduk di Kampung Jinem?
Berbekal rasa penasarannya yang semakin mendalam, Silla berencana kembali ke kampung halamannya. Ia sampai mengambil masa cuti kantor untuk pertama kalinya. Ia berhasrat mencari tahu apa yang terjadi dengan orang-orang di desanya pada saat itu.
Akhirnya Silla memutuskan mengemudi mobil sendiri dari Jakarta. Perjalanan sekitar tiga jam pun ia tempuh demi kembali ke Kampung Jinem yang berkawasan di Jawa Barat.
“Sill, loe yakin mau pulang kampung sendirian?” tanya Andin di telepon.
Saat itu Silla sudah menyalakan pengeras suara yang terpasang di head unit mobilnya. Ia menerima panggilan grup telepon dari kedua teman kantornya.
“Memangnya mau bareng siapa lagi?” sindir Silla, terkekeh.
“Ya sama kita lah!” sahut Jill.
“Gue udah jalan di tol nih. Telat banget kalau kalian baru menawarkan diri,” balas Silla. “Lagian gue mau ada urusan pribadi di desa kok. Ngapain juga kalian ikut?”
“Kita butuh healing juga! Di desa kan pemandangannya segar banget!” ujar Andin.
“Eh, bisa jadi alasan kita buat liburan dari kerjaan kantor yang numpuk!” timpal Jill.
“Selamat ya. Kalian bakal kerja rodi di kantor tanpa gue,” ucap Silla, menertawakan mereka. “Sekarang giliran gue yang mau healing—”
Usai berbasa-basi dengan mereka, Silla menutup panggilan telepon. Kini ia mendengarkan musik sambil fokus mengendarai mobil sedan hitamnya.
***
Terik matahari berada tepat di atas kepala. Silla tiba di Kampung Jinem menjelang jam makan siang. Ibunya sudah menunggu di teras rumah. Beliau tak sabar ingin menyambutnya hangat. Mereka langsung berpelukan, melepas rasa rindu.
Ibunya berceloteh riang seraya mempersilahkannya masuk, “Ambu masakin ubi rebus buat kamu. Ada sagon kelapa juga. Ada—”
“Duh, Ambu, enggak perlu repot-repot,” pungkas Silla sambil mengusap lembut bahu sang ibunda. Ia sendiri membawa banyak oleh-oleh makanan dari Jakarta. Ibunya sangat senang dengan semua jajanan kue kering yang dibawakannya.
“Teu nanaon!”[1] sahut Ambu. “Kita memang sudah nungguin kedatangan Silla ke sini. Makanya Ambu nyiapin banyak makanan enak buat kamu!”
Akhirnya Silla mengangguk-angguk saja. Ia senang bisa disambut riang oleh ibunya. Ketika memasuki ruang tengah, ia mencari-cari di mana sosok ayahnya berada.
Ibunya langsung mengerti bak membaca pikirannya. “Si Abah barusan tidur di kamar. Habis minum obat asma.”
“Kalau begitu, nanti saja bangunin si Abah. Biar istirahat dulu,” tutur Silla.
“Sapa wae lah si Abah. Dia pasti senang bisa lihat kamu!” ujar Ambu.
Silla lalu pelan-pelan memasuki kamar orang tuanya. Terlihat sosok ayahnya sedang berbaring di atas kasur. Melihat beliau mendengkur, Silla tidak tega ingin membangunkannya. Terlihat pulas sekali tidurnya.
Di belakangnya, Ambu menegur, “Kok kamu diam saja?”
Suara ibunya yang terlewat agak kencang membuat ayahnya terbangun. Akhirnya beliau menyadari kedatangan Silla. Benar saja seperti yang dikatakan ibunya, sang ayah langsung tersenyum bahagia melihat sosok anaknya.