Lenor membuka pintu kamar kakeknya. Dia tahu selama ini pintu itu tidak pernah dikunci, karena kakek sudah tidak muda lagi, sehingga ibu meminta agar kamar tersebut tidak dimungkinkan dapat dikunci dari dalam supaya memudahkan bagi ayah atau ibu mengecek kondisi kakek sesekali.
Terdengar bel berbunyi. Rupanya Kinoy sudah tiba menjemput. Sejenak Lenor bingung, apakah sebaiknya dia membatalkan latihan taekwondonya atau tetap berangkat?
Belum sempat dia memutuskan, pak Ayat muncul dari arah dapur. “Den, mang Ayat mau pulang. Kebetulan kemarin cucu mang Ayat minta di antar ke kebun binatang,” mang Ayat meminta ijin.
“Ada apa mang Ayat,” pak Tono muncul dari arah ruang keluarga dan bertanya.
“Iya Pak kebetulan memang dari kemarin cucu mang Ayat ingin di antar ke kebun binatang. Jadi untuk hari ini cukup setengah hari saja, maaf. Mungkin besok pak Ayat bisa lanjutkan kembali,” kata pak Ayat.
“O begitu, tidak apa-apa toh pekerjaan utamanya sudah selesai kan,” ayah Lenor tidak keberatan sambil memanggil istrinya dan meminta pendapat istrinya. Bu Rosa tidak keberatan juga, toh baru seminggu yang lalu mang Ayat mengurus tanaman di halaman.
“Baik Pak, mang Ayat pamit dulu,” kata mang Ayat. Setelah menerima pembayaran, mang Ayat berjalan ke arah pagar meninggalkan rumah.
“Yok Kinoy, kita juga pergi sekarang ya,” kata Lenor.
Di sepanjang perjalanan bahkan di sela-sela latihan, Lenor sibuk menceritakan kecurigaannya terhadap pak Ayat lengkap dengan berbagai scenario.
“Ah menurut aku, walaupun terindikasi pak Ayat mau mencuri, mungkin ketegori mencuri biasa, ,mencoba coba barangkali ada barang berharga di dalam rumahmu. Itu bukan karena ada kaitannya dengan meninggalnya kakekmu,” ujar Kinoy tidak setuju dengan pendapat Lenor yang menaruh curiga ada keterkaitan antara kelakuan mang Ayat dengan peristiwa kebakaran dengan temuan kakeknya.
“Tapi kenapa aku terus memikirkannya,” jawab Lenor tidak puas. “Dan sekarang baru terpikirkan olehku, sejak pertama bertemu, mang Ayat lebih sering menundukkan kepala,” Lenor merasa menemukan bukti lain.
“Dia jarang berani menatap mata orang lain, kepada ayahku, ibuku bahkan ke aku juga. Seolah-olah ada yang disembunyikan. Hmm awas kalau ternyata dia adalah pencuri,” Lenor bertambah yakin dengan dugaannya itu.
“Ya sudah, ada baiknya kamu berjaga-jaga kalau begitu. Coba ceritakan kepada orang tuamu soal ini,” usul Kinoy.
“Yah nanti aku mau ceritakan dulu ke kak Lita,” Lenor lega akhirnya sahabatnya bisa paham.
“Ide bagus, ayo kita jemput Lita, terus kita bicarakan di café. Di mana posisinya sekarang? Kinoy merasa mendapatkan ide bagus, setidaknya ada yang bisa dibahas dengan gadis itu.
“Yeah, ogaah. Aku tahu kemana arahmu,” Lenor nyengir.