Tempat paling aman

Ris Aruni
Chapter #10

Penculikan

Lenor membuka matanya. Badannya masih terasa lemas. Entah sudah berapa lama dia pingsan. Dia terbangun di sebuah ruangan yang mirip dengan kamar di rumah sakit. Kamar berukuran 4m x 6m dengan cat tembok berwarna putih dan hanya ada dua tempat tidur di kamar tersebut yang lebih tepat dikatakan sebagai ranjang besi dengan kasur di atasnya, layaknya sebuah rumah sakit. Sebuah buffet dengan laci dan lemari di bawahnya, semua berwarna putih. Pada dinding kamar berwarna putih tersebut dengan arah lurus dari tempat tidurnya terdapat sebuah TV. Hanya bedanya dengan rumah sakit biasa, antara tempat tidur dia dengan tempat tidur lainnya terpisahkan oleh sekat besi semacam pagar yang dapat digeser seperti halnya pintu geser yang biasa digunakan di garasi rumah. Ujung pintu geser sepanjang 5 meter tersebut dalam keadaan terkunci.

Apa yang terjadi dengan diriku, pikir Lenor sambil berupaya bangkit dari tempat tidurnya. Namun dia baru menyadari tangan kanannya tidak bebas bergerak, rupanya sebuah borgol yang mengikat pergelangan tangannya dengan besi rajang tersebut. Baju yang dia kenakan masih sama dengan baju yang dia pakai sebelumnya, hanya sepatunya yang tidak dia kenakan saat itu. Dengan perasaan bingung dan marah dia menghentak hentakkan dan menarik borgolnya dengan harapan bisa terlepas.

Lenor mengerutkan keningnya sehingga tampak kedua alis matanya yang tebal itu sampai seolah-olah hampir menyatu. Dia mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum dia jatuh pingsan.

Aghh…, wajah itu keluhnya. Wajah yang dia benci saat ini karena perbuatannya terhadap Lenor sebelum dia berada

di sini. Apakah aku diculik? Buat apa? Kenapa aku berada di rumah sakit? Apakah peristiwa iniberkaitan dengan soal kakekku? Lenor berusaha memeriksa sakunya dengan tangan kirinya, berharap dia bisa menemukan gawainya. Namun sia-sia. Tentunya sudah diamankan oleh penculikku ini pikirnya kesal.

Melihat susunan tempat tidur yang dilengkapi tirai, dengan bufet kecil di samping tempat tidurnya, terlebih lagi tampak sebuah TV terpasang di dinding, betul-betul dia sedang berada di rumah sakit. "Hei, adakah orang di sana?" Teriaknya berharap ada yang mendengarkannya. Kalau ini betul rumah sakit pasti disebelah kamarnya ada kamar pasien lainnya.

Namun suasana di 'rumah sakit' tersebut tampak sepi. Lenor mencoba menengok ke arah jendela di sebelah kirinya, namun sayang dari jendela hanya tampak pepohonan dan langit, rupanya dia berada di lantai dua rumah sakit ini. Mengapa aku di bawa ke rumah sakit? Apa yang akan mereka lakukan kepadaku? Perasaan ngeri mulai menyerang dirinya.

Kembali dia berteriak sambil menghentak-hentakkan borgolnya, "Hoii..., Siapa di sana?"

Tidak ada jawaban.

Berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya. Perasaan takut, sedih, penasaran dan lain-lain. Terbayangkan oleh Lenor bagaimana cemasnya keluarganya ketika mengetahui dirinya tidak pulang malam itu. Teringat ayah ibunya dan Lita membuat Lenor menggigit bibirnya menahan tangis. Akankah aku berjumpa mereka lagi?

***

Terdengar seseorang membuka pintu ruangan yang berbatasan dengan lorong ‘rumah sakit’ itu. "Ah rupanya kamu sudah bangun Lenor," seorang pria dengan tinggi sekitar 165 cm, berkulit agak gelap dan bermata bulat menyapa dengan suara datar dan dalam. Lenor merasa gugup dan takut. Dia hanya menatap orang yang menghampiri ke balik pintu pagar besi sambil membawa makanan dan minuman menggunakan sebuah baki aluminium dan meletakkannya di atas buffet yang letaknya persis di batas pintu pagar besi. Beberapa detik kemudian, dua orang lainnya ikut masuk. Sesaat kemudian, melihat dua orang tersebut membuat

Lenor terpana sampai mulutnya setengah terbuka, Pak Robi? Mang Ayat? Kenapa? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya. Dan semua itu membuatnya pusing. Sejak beberapa waktu terakhir ini, begitu banyak yang dialami olehnya dengan drastis.

Lihat selengkapnya