Kakek Lenor tidak membuang-buang waktunya selama berada di tempat persembunyiannya. Dia menyadari cepat atau lambat pihak musuh akan menemukan dirinya. Kadang dia masih mensupervisi para peneliti di laboratorium rumah sakit tersebut untuk terus mengembangkan produk-produk mikroba maupun katalis terkait transformasi plastik menjadi energi.
Lenor terkadang masih merasakan duka yang mendalam terutama ketika malam tiba, namun lambat laun dia telah bisa menerima kenyataan pahit hidupnya. Terlebih kakeknya beserta pak Robi telah membuatkan program bela diri untuk dirinya termasuk latihan taekwondo dengan jadwal yang padat.
“Lenor, mulai besok kamu harus mengikuti program yang sudah dibuatkan oleh tim pak Robi,” kata kakek Lenor di sela-sela makan siang.
“Dan ada aturan dari perusahaan ini yaitu kamu tidak boleh memegang handphone, bermain game on-line ataupun aplikasi lain yang bisa menyebabkan keberadaanmu diketahui orang lain.”
“Yah Kakek, bagaimana Lenor bisa main game? Kan di kasih HP saja tidak,” keluh Lenor. Terus terang hal yang paling memberatkan dia di sini adalah ketika sama sekali dia tidak diperbolehkan memiliki gawai. Meskipun menggunakan nomor baru, pak Robi tetap tidak mengijinkan.
Untungnya dia masih diberikan komputer yang sama sekali tidak bisa terhubung ke internet, sehingga dia masih bisa bermain game dengan pilihan yang terbatas. Lenor masih bisa mendengarkan lagu yang dipilihkan oleh perusahaan dan disimpan di dalam folder komputer. Sungguh situasi yang berat bagi Lenor mengingat selama ini Lenor dikenal sebagai seorang yang aktif di media on-line, aktif di sekolah dan berjiwa supel. Apa yang terjadi dengan anggapan teman-temanku begitu mereka mengetahui aku tiba-tiba tidak terlihat di sekolah, tidak muncul di media on-line atau kegiatan olah raga yang secara rutin aku ikuti? Banyak hal di luar sana yang Lenor tidak bisa menjawabnya.
Yang mau hidup tanpa koneksi internet kan kak Lita? Lenor teringat akan komentar kakaknya. Tetapi mengapa aku yang harus menjalankannya keluh Lenor. Berat sekali hidup tanpa bisa koneksi ke internet, terlebih tidak bisa bermain dengan sahabat-sahabatnya.
Keberadaan kakeknya di tempat itu sungguh satu satunya bagi Lenor dia bisa merasa terhibur dan ada yang bisa diajak ngobrol dari hati ke hati.
Lagi-lagi malam itu Lenor bermimpi dia pulang dari sekolah bersama Kinoy masuk ke rumahnya menggunakan seragam putih abu. Ibunya menyambut mereka dan membuatkan kue waffle hangat dengan madu di atasnya sebagai makanan penutup makan siang dia dengan Kinoy. Semua terasa begitu nyata….
***
Esok pagi setelah sarapan pagi, Lenor diantar kakeknya ke ruangan olah raga yang letaknya berada di satu lantai di atas lantai tempat Lenor menginap. Melewati lorong utama dengan banyak pintu di kiri kanannya dengan tanpa identitas atau keterangan apa pun pada pintunya, membuat siapa pun yang masuk akan merasa bingung dan tersesat. Kira-kira setelah pintu ke 5 di sebelah kiri, mereka masuk ke dalam ruangan kosong yang besar. Kakek Lenor mengajaknya menuju pintu yang berada di ujung ruangan. Ternyata dari situ pun masih terdapat lorong lainnya dengan beberapa pintu berjarak kurang lebih 10 meter satu sama lain. Betul-betul sebuah lay out bangunan yang membingungkan pikir Lenor.
Akhirnya sampailah mereka ke tempat olah raga. Di tengah tengah ruangan terdapat lapangan basket, di pinggir terdapat meja tenis dan di balik dinding kaca masih terdapat ruangan gym dengan berbagai alat olah raga.
“Perkenalkan Lenor, ini Pak Sagu yang akan menjadi pelatihmu belajar bela diri,” kakek Lenor sambil menyalami pelatih. Lenor langsung ingat wajah laki-laki dengan leher kekar, berbadan tegap, bermata bulat dan suaranya khas dan dalam. Dia lah yang pertama kali membawakan makanan saat baru sadar dari pingsannya.