Hampir 3 bulan lamanya Lenor berada di tempat persembunyian kakeknya. Sejauh ini tidak ada berita atau kejadian apa-apa. Atau mungkin yang lebih tepat adalah Lenor tidak tahu kejadian apa-apa di luar sana.
Perawakan Lenor pun sudah berubah dengan ketika masuk ke tempat tersebut. Dengan latihan fisik yang melelahkan setiap hari kemudian porsi makan yang di atur oleh bagian nutrisi, tampak otot tubuh yang nyata terlihat terutama pada bagian lengan dan perut. Dada Lenor semakin bidang, tegak dan tegap, rahangnya kuat dan otot leher yang menopang kepala Lenor dengan kuat. Yang tidak berbeda adalah karena setiap hari latihan olah tubuh dilakukan di dalam gedung, sehingga tidak ada perubahan pada warna kulit Lenor. Kulitnya tampak bersih, hampir merata antara bagian badan, lengan dan kaki. Tidak ada tanda-tanda bagian tubuh berwarna kecoklatan karena sinar matahari.
Tiga bulan dengan berlatih setiap hari, bukan berarti Lenor sudah berubah pikiran mengenai pelatihnya. Bukan berarti saat ini Lenor sudah berdamai dan menyukai Pak Sagu. Hanya saja Lenor sudah tahu bagaimana agar tidak harus sering berkomunikasi dengan pelatihnya itu. Terutama saat pemanasan, olah fisik dan kekuatan yang Lenor bisa lakukan sendiri tanpa harus menunggu instruksi pelatihnya. Hanya ketika berlatih bela diri, barulah Lenor harus berhadapan dengan pelatihnya. Ketika harus beradu kesempatan buat Lenor melakukan penyerangan dengan sepenuh hati kepada pelatihnya tersebut.
“Sambut pukulanku, Lenor!” pak Sagu berteriak dengan lantang sambil menyerang Lenor menggunakan tangan kanannya. Lenor yang sudah bersiap-siap sebelumnya, mengelakkan badannya ke arah kanan sehingga pukulan dari pelatihnya tersebut tidak mengenainya. Namun ternyata tidak cukup sampai disitu, mengetahui gerakannya tidak akan mengenai sasaran, pak Sagu dengan bertumpu pada kaki kanannya mengangkat kaki kirinya sambil membuat tendangan memutar ke arah badan Lenor yang tadi berhasil mengelak. Serangan kedua ini hampir saja berhasil apabila Lenor tidak segera menjatuhkan badannya. Dia sudah bisa membaca arah gerakan pelatihnya tersebut. Sambil menjatuhkan dirinya ke arah samping kanan badannya Lenor menggunakan kakinya untuk menyerang kaki kanan pak Sagu sementara kaki kiri pelatihnya tersebut belum mendarat dengan sempurna.
“Haap…!” teriak Lenor. Terdengar suara tubuh yang jatuh ke lantai aula olah raga itu yang beralaskan lantai parket.
Sejenak tidak ada suara. Pak Sagu kemudian bangkit dari jatuhnya, sementara Lenor memasang kuda-kuda selanjutnya, bersiap siap menanti serangan dari pelatihnya tersebut.
Namun ternyata tidak ada serangan lebih lanjut. Yang terdengar adalah suara tepuk tangan dari arah pintu aula. Ternyata Dr. Kiki dan didampingi oleh kakeknya.
“Mantap Lenor!” sahut Dr Kiki. “Kamu hebat sekarang ya, sudah bisa mengalahkan pak Sagu.” Sementara pelatih Lenor hanya tersenyum tipis sambil melirik ke arah Dr. Kiki dengan ujung matanya.
Lenor memberikan sikap hormat dengan kedua tangannya di depan dadanya.
“Kita sudahi dahulu latihannya ya, Lenor,” sahut pak Sagu. Tidak ada pujian atau sebaliknya, seperti biasanya. Dan Lenor memang tidak pernah mengharapkannya.
***
“Kami sengaja menjemputmu ke sini Lenor,” kakek Lenor menjelaskan. “Di samping ingin mengetahui kemajuanmu dalam hal bela diri, ada yang perlu dibicarakan lagi di laboratorium Dr. Kiki.” Lenor mengikuti kakeknya berjalan ke luar ruangan, sambil terkadang bergaya pura-pura sedang menggiring bola basket. Kadang berada di arah kanan kakeknya berjalan mendahului, kadang mundur kembali sambil seolah-olah sedang memantulkan bola ke lantai.
“Sudah lama rasanya Lenor tidak main basket. Bisa bisa mati jamuran kalau tinggal di tempat ini terus Kek.” Lenor menumpahkan rasa rindunya bermain basket dengan teman-temannya.
“Makanya kamu serius latihan dahulu, kalau kamu mampu melewati semua ini, bermain basket bukan menjadi impian mu lagi,” sahut kakek Lenor mencoba menyemangati cucunya.
Sampai di laboratorium, Dr Kiki mempersilahkan Lenor duduk semi berbaring di sebuah kursi yang lengkap terhubung dengan komputer dan berbagai jenis peralatan. Sekilas tampak seperti kursi pasien dokter gigi yang tempat duduknya dapat diatur dengan berbagai posisi.
“Kami baru saja selesai mengembangkan produk teknologi lainnya,” Dr. Kiki menjelaskan secara langsung tanpa memberikan kesempatan Lenor bertanya mengapa dia harus duduk di kursi tersebut.
“Produk ini berbeda dengan produk baju yang kami tunjukkan kepadamu sebelumnya.”
Lenor hanya menatap Dr. Kiki dengan penasaran, hmm- aku jadi objek percobaan apa apalagi pikirnya.
“Kalau produk kemarin hanya berupa alat untuk mengelabui lawan, produk ini terus terang lebih kuat dan dapat digunakan olehmu untuk menyerang musuh,” Dr. Kiki mengambil sebuah alat terbuat dari bahan polimer dengan bentuk seperti mikro pipet yang sering dijumpai Lenor di sekolah ketika praktikum mata pelajaran kimia, namun bedanya alat tersebut ujungnya terbuat dari bahan logam.