Dimas tumbuh di rumah besar yang selalu penuh gema, tapi justru kehilangan suara.
Setiap sudutnya seakan mengingatkan bahwa kesunyian bisa lebih bising dari keramaian.
Langkah kakinya di lantai ubin terdengar nyaring, seolah rumah itu menghakimi setiap tapak yang ia ambil.
Rumah itu dingin, bukan karena udara, tapi karena cinta yang tak pernah benar-benar hadir.
Ayahnya—sosok tinggi dengan wajah keras dan mata tajam—tak pernah memeluknya. Tak pernah bertanya
“Apa kau bahagia?”
Hanya tatapan menilai, penuh beban, seperti neraca yang menimbang dosa-dosa kecil dari seorang anak yang sedang belajar hidup.
Kakaknya adalah panutan, dan Dimas adalah kegagalan yang harus terus dibandingkan.