Ada malam-malam di mana Dimas memilih berjalan sendirian menyusuri gang-gang desa.
Lampu jalan yang temaram, suara jangkrik yang mendesak sepi, menjadi saksi bisu pelariannya.
Ia tak mencari teman, tak mencari petualangan. Ia hanya ingin merasa hidup... tanpa diperintah.
Ia merokok dalam diam di belakang mushola, meneguk pahit yang tak ia mengerti, hanya agar dunia tahu bahwa ia pun bisa memilih sesuatu—meskipun pilihan itu salah.
Kebebasan baginya bukan tentang terbang, tapi tentang bisa berkata “tidak” tanpa dimarahi.
Namun setiap kali ia pulang, setiap kali ia melihat wajah ayahnya, semua keberaniannya runtuh.