Arif menyediakan segalanya—tempat tinggal, biaya sekolah, makanan yang cukup.
Tapi tidak satu pun terasa seperti rumah.
Dimas tak berani bicara banyak, bahkan untuk mengatakan bahwa hatinya sedang hancur.
Ia mulai merokok di atap, jauh dari pandangan kakaknya.
Ia begadang tanpa sebab, menatap lampu-lampu kota tanpa makna.
Setiap malam, ia berharap bisa kembali ke desa.