Di sekolah barunya, Dimas tidak menonjol. Ia lebih banyak diam, menatap keluar jendela, menulis puisi-puisi pendek di sudut-sudut bukunya.
Gurunya menganggapnya murid pendiam, padahal pikirannya riuh dengan dendam. Dendam pada ayahnya.
Dendam pada nasib. Dendam pada semua orang yang bilang, “lihatlah kakakmu.”
Kadang ia bahkan marah pada Dewi—dalam pikirannya yang kacau, ia merasa Dewi telah menjebaknya dalam dosa yang ia sendiri ciptakan.
Tapi ketika ia sadar akan pikirannya sendiri, ia muak.
Muak karena ia sedang menyalahkan perempuan yang ia rusak, lalu ia tinggalkan.
Muak karena ia sedang mencari alasan untuk membenarkan pengecutnya.
Muak… karena ia masih mencintai Dewi, dan tak bisa mencintai dirinya sendiri.