Sore itu, mereka baru pulang dari pengajian di kampung sebelah. Di persimpangan, cahaya senja mengurai bayangan panjang di aspal.
Tiba-tiba, Dimas menghentikan motornya. Napasnya tercekat, dadanya bergemuruh seperti genderang perang yang tak diminta.
Di balik kaca helm yang mulai mengembun, matanya membesar—seolah waktu membeku.
Tepat di depan zebra cross, seorang perempuan melangkah perlahan menyeberang.
Pakaian yang dikenakan begitu mencolok—celana ketat membalut kaki jenjang, atasan tipis yang membingkai lekuk tubuh tanpa ampun.
Di pundaknya tergantung tas mungil, ringan seperti hidup yang tak lagi punya beban.
Wajahnya dipoles rapi, tapi berlebihan—seperti mencoba menutupi luka dengan warna-warni yang tak jujur.
Namun bukan soal pakaiannya… bukan soal dandanan itu…
Tubuh itu… cara ia melangkah… sorot samar di balik matanya…
Dimas terpaku. Jantungnya menggedor dada, menolak tenang.