Dimas tak tahu kenapa ia kembali ke jalan itu malam ini. Ia berdiri di balik bayang-bayang lampu jalan, hujan tipis menyapa bahunya.
Dalam diam ia menatap orang-orang lalu-lalang, namun hatinya hanya menanti satu wajah.
Wajah yang tak pernah benar-benar pergi dari kepalanya—bahkan ketika ia mengucap akad di depan saksi.
Dan malam itu, Tuhan menjawab penantiannya. Tapi bukan dengan kelegaan.
Melainkan dengan pecahan kaca di dada.
Dewi berjalan menyeberang, dengan langkah yang tak lagi ia kenali. Perempuan itu—yang dulu ia ajak berbagi mimpi—kini berjalan dalam dunia yang tak ia sentuh.
Pakaian yang menggoda, riasan tebal, dan senyum tipis yang dipaksakan untuk bertahan.
Tubuh Dimas menggigil.
Matanya tak berkedip.
Napasnya tercekat. Waktu seolah berhenti.
“Ya Allah… Dewi…”
Langkah Dewi melewatinya, tak sadar bahwa lelaki yang pernah ia cintai kini berdiri di balik bayang gelap.