Mushola kecil itu sunyi.
Dimas masuk dan langsung bersujud. Tapi bukan untuk salat.
Hanya menunduk, seolah bumi tempat wajahnya menempel bisa menyerap dosanya.
Tangisnya pecah.
Bukan tangis biasa—tapi jeritan batin yang pecah jadi air mata.
Sesenggukan yang terdengar seperti anak kecil hilang di tengah pasar.
“Ya Allah…
ini dosaku…
ini salahku…
semua ini salahku…”
Ia membenturkan kepalanya ke sajadah, keras.
“Kenapa aku tinggalkan dia…
kenapa aku takut…”
DUG!
Kepalanya membentur dinding beton.
“Kenapa aku biarkan dia sendiri!”
DUG!
Lagi. Pelipisnya memerah. Bibirnya digigit hingga darah merembes di sudut.
“Dewi… kamu perempuan paling kuat yang pernah aku kenal.
Tapi kamu juga perempuan paling rapuh. Dan aku—
aku yang membuatmu jatuh ke dasar.”
Tangannya meraih tasbih yang ia bawa dari rumah. Tapi hari ini, tasbih itu tak terasa menenangkan.
“Ya Allah… cintaku padanya tidak pernah mati. Tapi aku menikah.
Aku punya istri. Anak. Tapi cinta ini…