Mushala kecil itu tak pernah benar-benar sepi, meski yang datang hanya mereka yang patah, dan Dimas adalah yang paling retak di antara mereka.
Dulu, ia hampir mati di bawah jembatan, dibungkus bau alkohol dan doa-doa yang tak pernah ia panjatkan.
Kini, ia berdiri dengan suara lirih, bukan sebagai ustadz agung, tapi sebagai bekas manusia yang sedang belajar menjadi utuh kembali.
Ia tidak menyampaikan ceramah dengan dalil dan ayat berjejer. Ia hanya menceritakan luka.
Tentang dosa yang membuat tubuhnya menggigil. Tentang malam-malam yang ditikam sepi. Tentang cinta yang ia khianati sendiri.
Kyai Mahfudz, lelaki tua berhati langit, sering duduk di belakang sambil tersenyum kecil.
Ia tahu, lelaki muda itu tidak sedang mengajar—ia sedang menyembuhkan.
Kadang, kakaknya, Arif, datang.
Duduk bersedekap di luar mushala, dengan mata penuh ragu. Seusai ceramah, kata-kata selalu meluncur seperti peluru.
“Kamu yakin hidupmu cuma buat jadi tukang bersih-bersih mushala kecil?
Lulusan SMA, gak punya masa depan...”