Dimas akhirnya mengangguk dalam diam di hadapan Kyai Mahfudz. Suaranya lirih, seperti masih menimbang dunia yang belum selesai ia maafkan.
"Saya terima, Kyai…
Saya ingin membimbing dan dibimbing.
Saya ingin belajar mencintai seseorang…
meski hati saya belum sepenuhnya sembuh."
Kyai Mahfudz tersenyum haru. Citra menunduk dalam linangan air mata yang hangat.
Bahagia… namun juga takut. Karena perempuan selalu bisa membaca kekosongan di balik senyum seorang laki-laki.
Malam itu, mereka memutuskan menyampaikan kabar kepada keluarga Dimas.
Bahwa luka bisa berubah menjadi doa, dan kehancuran bisa menjadi jalan pulang.