Malam itu tak ada cahaya, hanya kabut yang menggantung di dadaku.
Kupilih baju putih bersih—seputih harapan yang pernah kupijak dengan dosa.
Peci hitam kukenakan, menutup kepala yang terlalu sering tunduk bukan karena takwa, tapi karena malu.
Tasbih tua kugenggam erat—bukan untuk menghitung pahala,
tapi untuk mengingat betapa banyak luka yang kubiarkan menganga.
Kupeluk Rio dan Citra dengan tangan yang terasa dingin,
karena hari ini, aku akan kembali ke titik awal kehancuranku.
Bukan menuju masjid, bukan menuju surga,
tapi menuju neraka yang pernah kubakar dengan tangan sendiri.
Tempat di mana Dewi masih bertahan dalam api yang aku nyalakan.
Langkahku berat, seolah bumi menolak mengizinkanku kembali menginjaknya.
Dan ketika aku masuk ke tempat itu,
mata-mata memandang dengan jijik, seolah ingin meludahi tanah yang kulangkahi.
"Ustadz di tempat maksiat,"
begitu mungkin mereka bisikkan di antara bau parfum murahan dan lampu remang.
Tapi aku tak peduli.
Karena hari ini, aku bukan siapa-siapa.
Aku hanya lelaki bernama Dimas—manusia yang pernah merusak,
dan kini datang bukan membawa pengampunan,
tapi membawa tubuh penuh dosa dan mulut yang hanya ingin mengucap satu kalimat: