Tempat Terakhir Namamu Kucuri

Temu Sunyi
Chapter #22

Kepergian dan Warisan Penyesalan


Langkahku meninggalkan tempat itu terasa seperti menapaki bara yang tak pernah padam.

Setiap jejak adalah beban, setiap napas adalah duri.

Aku melangkah…

tapi rasanya seperti menyeret seluruh kuburan masa lalu.

Dewi tak sekadar menolakku—ia menguburku hidup-hidup dengan mata yang pernah kuanggap surga,

mata yang kini jadi penghakim paling sunyi.

Angin malam mencuri sisa-sisa harga diriku.

Jalan pulang bukan lagi tentang arah, tapi tentang kehampaan yang tak bisa kutukar dengan doa.

Aku ingin menjerit, tapi bahkan langit pun tak mau mendengar.

Aku ingin menangis, tapi air mata ini pun terasa munafik.

Aku sadar…

Aku takkan pernah dimaafkan.

Dan mungkin…

aku memang tak layak dimaafkan.

Namun aku masih hidup.

Dan aku akan terus hidup.

Bukan untuk menebus dosa—karena ada luka yang tak bisa ditebus, hanya bisa diwarisi.

Bukan untuk kembali—karena tak ada pintu yang masih terbuka untukku.

Tapi untuk satu hal kecil yang tumbuh dari luka yang kutanam sendiri:

anak itu.

Darahku yang tak pernah tahu siapa aku.

Wajah mungil yang takkan pernah memanggilku "ayah."

Aku akan mengawasinya dari kejauhan, seperti bayangan yang tak pernah cukup berani menyapa cahaya.

Agar ia tak tumbuh menjadi diriku.

Agar hidupnya tak menjadi kutukan yang turun-temurun.

Agar ia tak pernah tahu betapa hina lelaki yang mengalir dalam darahnya.

Itulah satu-satunya doa yang tersisa dalam hidupku.

Dan mungkin…

itu satu-satunya bentuk cinta yang masih bisa kupanjatkan tanpa mengotori langit.


EPILOG

NAMA YANG TERTINGGAL DI SUJUD TERAKHIR

Lihat selengkapnya