Hompimpa alaium gambreng …
Suara mereka memenuhi lapangan bola yang begitu lebar. Tangan mereka bergerak kesana-kemari mengikuti alunan kata yang mereka ucapkan setiap baitnya.
Ketika alunan kata berhenti, tangan mereka ikut berhenti dengan masing tangan-tangan yang berbalik atau tidak. Permainan begitu amat seru, salah satu anak yang berbaju hijau tangannya berbalik, menunjukkan telapak tangannya dan yang lainnya tak berbalik.
“Kowe sing jaga,” pekik salah satu dari mereka dengan suara yang amat antusias.
Si baju hijau mendesah pelan namun, ia tetap memaksakan senyumannya seraya mengangguk setuju. Kakinya melangkah menuju pohon besar yang berada di ujung lapangan.
“Nggih, aku sing jaga. Kalian engko siap-siap ngumpet yo,” ujarnya kala kakinya terhenti dan melirik ke arah teman-temannya.
“Iyo! Uwis sono, ngejogo!” sahut anak berbaju hitam dengan nada yang begitu tak sabaran.
Ketika kakinya mulai mendekat ke arah pohon yang besar nan rindang itu. Suara-suara aneh terdengar di telinganya namun, urung baginya untuk kembali.
Angin tiba-tiba saja menghembus dengan sangat kencang membuat si baju hijau langsung menghentikan langkahnya. Anak-anak rambutnya berterbangan kesana-kemari mengikuti hembusan angin.
Teng … teng … teng …
Suara kentongan terdengar dari arah kampung, disusul dengan orang-orang dewasa yang berlari kencang meninggalkan aktivitas yang tengah mereka lakukan. Semuanya tergopoh-gopoh menuju rumah masing-masing bahkan sampai ada yang bertabrakan satu sama lain.
Anak-anak yang melihatnya sontak kebingungan. Tak mengerti apa yang telah mereka lakukan.
“Ono opo iki?” tanya si anak berbaju kuning terang. Matanya memerah layaknya seorang yang ingin menangis. Bola matanya pun mengikuti ke arah orang-orang dewasa yang berlari secepat kilat.