Perjalanan yang jauh membawa kami semua menuju desa yang harus dilakukan observasi untuk tugas kuliah kita yang semester akhir. Beruntungnya, Nenek Elena yang berada di desa membolehkan mereka untuk datang berkunjung kesana. Dengan banyaknya drama, mereka pun sebentar lagi akan sampai di “Desa Bayangan Terlarang”. Jika mendengar kalimat itu, Elena sontak langsung tertawa kencang. Nama Desanya terdengar sangat aneh hingga membuatnya kebingungan, siapa yang telah memberikan nama tersebut?
“Elena!” teriak salah satu temannya yang kebetulan duduk di dekatnya.
Dia sontak terkejut, dilirik wajahnya yang kini nampak masam. “Apa sih, kamu selalu saja menggangguku!” sungutnya kesal.
“Kamu itu jangan melamun terus, Elena! Nanti kalau kesambet baru tahu rasa!” sentaknya kesal. Dia adalah Anjani, wanita yang cerewet nan sarkasme.
“Gak akan mungkin aku kesambet di kampung nenekku sendiri, kamu mah aneh-aneh saja!” jawab Elena seraya memutar bola matanya malas.
“Meskipun ini kampung nenekmu, tapi bukankah lebih baik kalau kamu tidak melamun seperti itu? Bagaimana jika penunggu kampung ini marah?” Anjani melirik ke arah sekitar, wajahnya tampak pucat pasi seolah-olah ucapannya itu penuh kebenaran.
Sontak teman-teman semobilnya langsung tertawa ceria. Anjani sangat lucu hingga mengucapkan kalimat yang amat aneh di dengar. Padahal sudah zaman milenial namun, pemikiran Anjani sungguh kolot hingga mengatakan hal yang tak akan pernah terjadi.
“Sudahlah! Apa yang dikatakan Anjani tak salah. Cuman pemikirannya memang agak aneh, tapi kita kan memang hidup di dunia yang penuh teka-teki ini. Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia ini bukan dihuni oleh manusia dan hewan saja. Ada juga bangsa jin yang turut hidup berdampingan bersama kita,” celetuk Zalifa, wanita pendiam yang mengenakan hijab berwarna pink. Dia menatap ke arah mereka satu sama lain dengan bola mata yang nampak serius hanya sesaat dan berganti melirik ke arah jalanan yang begitu luas.
Zalifa adalah satu-satunya teman mereka yang memakai hijab dan tertutup. Bahkan Zalifa sendiri selalu memegang penuh ketaatan dalam agamanya.
“Apa yang dikatakan Zalifa memang benar. Tapi, ya gak boleh sampai mengatakan seperti itulah. Jatuhnya malah menakut-nakutin orang,” sentak Dina yang kini tengah memejamkan matanya.
“Hahaha!” Radit malah tertawa kencang yang membuat semua orang langsung melirik ke arahnya. Kebetulan Radit duduk di kursi belakang bersama dengan Amar. “Dina, kamu kalau takut, mending tidur saja. Sok-sok mengatakan seperti itu. Padahal kamu sendiri yang ketakutan!”
Perkataan Radit membuat Dina membuka matanya. Dia melirik ke arah Radit dengan tatapan sinis. “Aku takut? Di kamusku tidak ada ya, seorang Dina ketakutan. Aku kan mengatakan itu karena memang sesuai dengan faktanya!” cercah Dina.