- William -
Aku meregangkan tubuhku. Baru saja aku keluar dari bandara dan istriku sudah menelpon agar aku menjemput anak kami di sekolah, ia masih di rumah sakit mengurus pergelangan tangannya yang retak karena kecelakaan kecil beberapa hari lalu. Jadilah aku, yang masih dengan tampang kusut karena kurang tidur dan kemeja lusuh karena telah berada di pesawat selama lima belas jam, sekarang berdiri di depan gerbang sekolah yang masih sepi.
"Jam berapa anak - anak pulangnya pak??" Tanyaku pada pak satpam yang menjaga pintu gerbang.
"Oh, lima menit lagi pak. Nunggu anaknya ya?" Tanya balik satpam tersebut
"Iya nih, biasanya mamanya yang jemput, tapi karena mamanya masih sakit jadi saya dulu yang jemput." Jawabku
Pak Hanif--nama satpam tersebut jika dilihat dari name tagnya--mengangguk mengerti. Selagi menunggu, Pak Hanif menemaniku berbincang. Cukup bagus sebenarnya karena aku agak risih berdiri diantara sekumpulan ibu - ibu yang juga sedang menunggu anak mereka pulang sekolah. Rasanya aku menjadi seperti muggle[1] yang ada diantara para penyihir. Sangat terasing.
Pak Hanif sangat ramah dan aku cukup senang berbincang dengannya selama menunggu gadis kecilku keluar. Ia bercerita banyak, mulai dari kisah hidupnya yang cukup mengharukan hingga pandangan politiknya yang ingin sekali ku kritik, untunglah sebelum aku bisa berkata apapun, bel pulang sekolah sudah berbunyi nyaring. Bel itu menyelamatkanku dari reputasi 'sok tahu' yang akan kudapatkan jika aku mendebat pandangan politik Pak Hanif tadi.
"Oh, udah pada pulang pak, anaknya pasti bentar lagi keluar." Kata pak Hanif bergegas membuka pagar sekolah.
Aku menoleh ke arah sekolah. Saat ini gerombolan anak kecil yang mengenakan baju batik dan bawahan putih dengan segala jenis ikatan rambut segera berhamburan keluar. Aku berdiri di depan gerbang, memandangi satu persatu anak untuk mencari anakku. Dalam hati diam - diam berharap semoga anakku yang pandangannya sangat tajam itu bisa lebih dulu menemukan ayahnya ini. Karena jujur saja, semua anak itu terlihat sama di mataku.
"Papahh!!!" Seru seorang anak dengan suara nyaring, aku segera menoleh menatap anakku yang berlari dengan tas besarnya menghampiriku. Dia baru saja keluar dari sekolah. "Papa udah pulang? Bawa oleh - oleh gak? Mama mana? Kok papa yang jemput?" Tanyanya dengan terburu - buru begitu ia tiba di depanku.
"Kayla sayang, papa harus jawab yang mana?" Tanyaku gemas
"Semuanya!" Jawabnya polos.
"Iya papah baruu aja pulang, oleh - oleh buat kamu ada di mobil, mama lagi di rumah sakit makanya gak bisa jemput."
Mata anakku, Kayla, segera berbinar. Sepertinya ia sama sekali tidak perduli pada perkataanku sebelumnya yang menjelaskan tentang ibunya sedang dirumah sakit. Karena gadis kecil ini ternyata lebih fokus pada hal 'aku pulang dan membawa oleh - oleh'. Lihat saja, sekarang ia menarik - narik tanganku sambil berkata dengan nada menuntut, "Pa... Bawa cokelat gak?"
"Ada"
"Sini... Siniii, mau Kayla kasih ke Rio." Katanya cepat
Aku mengernyit "Rio siapa?"Tanyaku, merasa jiwa protektifku segera muncul.
"Temen Kayla paa, Kayla udah janji mau ngasih dia cokelat kalo papah datang, ayoo pah nanti Rio nya keburu pulang!"
"Kay sayang, kan bisa besok. Nanti kamu berantakin tas papa lagi. Besok aja ya sayang," Bujukku lembut.
"Papaa, itu Rio nya mau pulang" Serunya panik, matanya mulai berkaca - kaca sekarang.
"Kay-- "
Apapun yang akan kukatakan itu, aku tak bisa mengingatnya lagi, mata dan pikiranku terpaku ketika melihat seseorang yang selama ini menghiasi pikiranku, benar - benar muncul di hadapanku.
"Kirana.... " Gumamku tanpa sadar.
Gadis bernama Kirana itu berdiri di hadapanku. Senyata semua orang yang ada disini, juga sekabur mimpi yang selalu membayangiku. Gadis itu juga terpaku menatapku, aku yakin seperti yang terjadi padaku, ia juga mengalami sentakan kenangan yang mendadak merebak dalam ingatan. Tatapannya yang terpaku padaku menjelaskan itu semua.