- William -
Begitu aku tersadar dari lamunanku, mobil yang kutumpangi secara perlahan melambat dan berhenti di salah rumah minimalis yang bercat seluruhnya putih. Pagar tinggi bercat hitam yang menjadi gerbang rumah tersebut, terbuka dengan bunyi bergemerincing oleh seorang wanita yang kuduga asisten rumah tangga Kirana. Di depanku, mobil putih Kirana melaju masuk kedalam halamannya, lalu mobilku juga mengikuti di belakangnya.
Dari kaca mobil, aku bisa melihat halaman luas yang dimiliki Kirana di rumahnya. Di sisi kiri, pohon pinus berbaris rapi diatas rerumputan hijau sedang di sisi kanan ada berbagai macam jenis bunga bersusun rapi dalam potnya sepanjang jalan. Kedua bagian kebun ini, dipisahkan oleh jalan setapak yang cukup lebar hingga bisa memuat satu mobil untuk berlalu lalang.
Mobilku terus mengikuti mobil Kirana, hingga berhenti di garasi luas milik Kirana. Kayla segera kehilangan minat pada ponselku begitu mesin mobil telah mati. Gadis kecilku itu mengembalikkan ponsel tersebut ke tanganku dan dengan semangat ia bergegas keluar dari mobil. Aku juga mengikuti Kayla keluar.
Pada saat itu, Kirana sudah keluar dari garasi bersama dengan putranya. Aku menarik napas dalam dan kemudian mengikuti langkah kaki mereka keluar garasi, dan berjalan menuju pintu utama rumah Kirana.
Kayla bersama dengan Rio sudah lebih dulu berlarian masuk kedalam rumah Kirana, seakan berada rumahnya sendiri. Sedang aku, entah bagaimana aku menjadi sangat canggung disamping Kirana. Aku hanya berdiri di depan pintu, terlalu bingung untuk melangkah.
"Masuk Will...." Ajak Kirana dengan senyum lembutnya.
Aku mengangguk dan kemudian melangkah masuk ke ruang tamunya, lalu duduk di salah satu kursi. Dari samping, Kirana berjalan melewatiku, aroma parfumnya melayang di udara ketika ia berjalan, mengisi penciumanku dengan keharuman parfum yang akrab. Jantungku berdebar cepat. Ini adalah wangi parfum yang sama dengan yang dipakai Kirana tujuh tahun lalu saat kami bersama.
Dulu, saat umurku lima belas tahun, saat pertama kali aku dan Kirana mengubah kata persahabatan menjadi pacaran, aku memberi parfum ini pada Kirana. Saat itu ulang tahun Kirana yang kelima belas, aku memberikannya parfum ini dengan catatan kecil yang hanya mengatakan 'Selamat ulang tahun, Kirana-ku. Coba deh parfum ini, the smell perfectly fit you.' Saat itu aku ingat Kirana tertawa membaca catatanku dan meledek ke-tidakromantisanku lalu membandingkan aku dengan kekasih temannya. Tapi, keesokan harinya ia memakai parfum itu ke sekolah dan setiap hari setelahnya, bahkan jika itu hari minggu yang berarti kami hanya akan menghabiskan waktu seharian dirumah, dia tetap saja memakainya. Selama tiga tahun berikutnya pun, Kirana masih memakai parfum itu, dan aku selalu membelikannya jika habis. Terlalu seringnya ia memakai parfum itu, aku sampai merasa bahwa wangi parfum itu seakan menjadi wanginya Kirana seorang.
Dan hari ini, wangi yang sama menyebar di ruangan ini, membuatku merasa seolah - olah kami masih tinggal seatap, seolah - olah ia akan duduk di sampingku kemudian bersender manja padaku untuk melihat apapun yang sedang kubaca saat itu, seolah - olah kami masih remaja. Walaupun sayangnya itu tidak terjadi.
Tapi itu bukanlah masalah pentingnya. Kenyataan bahwa Kirana masih memakai parfum itu, jujur saja masih mengejutkanku. Sudah sepuluh tahun berlalu, bagaimana mungkin ia masih memakai parfum yang sama? Apakah ia hanya terbiasa atau ... Atau apakah ia sepertiku, yang meminum teh setiap pagi hanya untuk menemukan kepingan kebersamaan kami di masa lalu?
Aku masih memikirkan hal itu ketika seorang wanita--wanita yang tadi membuka gerbang--muncul ke ruangan kami. Ia tersenyum lebar sembari menatapku, "Masnya mau minum apa? Kopi atau teh?" Tanyanya sopan.
"Kopi" Jawabku
"Teh" Sahut Kirana bersamaan dengan ucapanku.
Aku mengerjap, kemudian kurasakan tatapan Kirana terarah padaku, "Aku gak tau kamu sekarang suka kopi." Katanya dengan nada tertarik
"Aku mulai coba minum kopi waktu di Amerika." Balasku senatural mungkin.
Apalagi memangnya yang harus kukatakan? Bahwa aku mencoba berbagai macam kopi hanya untuk melampiaskan perasaan benciku padanya? Bahwa setelah dia memutuskan hubungan kami secara sepihak, aku mulai melakukan segala hal yang dulunya kami benci? Mungkin Kirana tidak akan pernah tahu, tapi sebenarnya tidak hanya kopi, melainkan alkohol, rokok dan berbagai wanita juga menjadi teman akrabku saat dia meninggalkanku. Bahkan, perlu bertahun - tahun bagiku untuk berhenti ketergantungan dengan segala hal tersebut.
"Satu teh satu kopi ya?" Tanya wanita tadi memastikan.
Kirana tertawa, "Satu kopi aja, mbak. Aku air putih aja."
"Oh, kalau gitu saya ambilin ke dapur dulu." Kata wanita tadi, lalu ia menunduk sopan dan melangkah pergi.
"Jadi ... Kamu tinggal disini? "Tanyaku memulai percakapan
Selagi menanyakan hal itu, mataku menjelajah seluruh ruangan ini. Di ruang tamunya aku bisa melihat berbagai macam foto dan juga kata - kata motivasi tergantung di dinding, selain itu hanya ada tiga kursi dan satu meja di ruangan ini. Aku tidak punya kesempatan untuk melihat - lihat keseluruhan rumahnya, tapi aku bisa mengatakan bahwa ini adalah rumah impian Kirana yang akhirnya berhasil diwujudkannya.