-- Kirana --
Aku tak pernah lupa bagaimana pertemuan pertamaku dengan William berlangsung. Meski saat itu umurku baru lima tahun, tapi aku masih bisa mengingat dengan sangat jelas bagaimana pertemuan pertama itu.
Aku ingat saat itu William baru bangun tidur, ia masih memakai piyamanya dan ketika aku datang bersama ibuku, ibunya tersenyum manis sambil mengenalkanku padanya. "Nah sayang, kamu punya temen baru nih." Kata ibunya William dengan nada ceria
William mengerjap - ngerjap menatapku, lalu berbalik menatap ibunya, matanya seolah bertanya - tanya pada ibunya tentang siapa aku.
"Dia Kirana, mulai hari ini dia tinggal disini buat jadi temen kamu. " Kata ibunya
William terperangah, aku ingat matanya yang tadinya mengantuk segera dipenuhi dengan semangat, dia bergegas mendekat ke arahku dan bertanya, "Kamu suka main apa?"
Aku terdiam dan berbalik menatap ibuku. Sebelumnya, aku tinggal di desa hanya bersama ibu, kakek dan nenekku, aku tidak pernah punya mainan juga teman bermain. Ibuku tak mampu membelikan aku mainan dan tak ada anak seusiaku juga disana. Jadi aku tidak tahu permainan apa yang biasa dimainkan anak - anak seusiaku.
"Apa aja" Jawabku akhirnya, setelah tak mendapat respon apapun dari ibuku.
"Robot - robotan?" Tanyanya lagi
Aku tambah bingung dengan perkataannya, "Apa itu?" Tanyaku mengutarakan kebingunganku.
"Sini aku tunjukkin!" Seru William dengan semangat. Ia segera menggenggam tanganku dan membawaku berlari menuju kamarnya.
Saat di kamarnya, William segera menghamburkan seluruh mainannya yang jumlahnya tak terhitung lagi. Robot - robotan, mobil - mobilan, berbagai action figure, puzzle, kereta api mainan, pesawat mainan, dan berbagai macam bola, semuanya dihamburkannya dihadapanku. Aku terperangah, tak pernah melihat mainan sebanyak itu dalam hidupku. Dan selain bola, tak ada satupun dari mainan itu yang bisa kukenali bagaimana cara bermainnya.
Tapi William, dengan kepolosan dan kebaikan hatinya, menunjukkan padaku bagaimana cara memainkan permainan itu satu demi satu. Ia dengan senang hati meminjamkan mainannya untukku selama kami berdua bermain, dan bahkan ia memberiku satu mobil - mobilannya.
Dan seperti itulah persahabatan kami bermula.
Setelah hari itu, kami dengan mudah menjadi dekat. Setiap kali pulang sekolah, kami selalu bermain dengan mainannya William hingga malam--meski tentu saja dipotong dengan jadwal makan, les privat dan tidur siangnya William. Kadang jika bosan dengan mainan yang bergerak menggunakan baterai, kami akan bermain bola di halaman belakang. Pada saat lain, William akan mengajariku cara membaca dan berhitung--berkat les privat yang dijalaninya, dia jadi sudah pandai membaca, menulis dan menghitung bahkan sejak TK. Pada saat lainnya lagi, kami akan duduk berdua di kamarnya William untuk menonton kartun, atau kadang memainkan Play Station milik William.
Aku tidak tahu apakah William hanya terlalu polos atau terlalu baik. Tapi pada waktu itu, dan bahkan sepuluh tahun setelahnya, ia tak pernah merasa lebih berkuasa dariku. William jelas - jelas adalah pemilik rumah itu dan aku hanyalah penumpang rumahnya karena ibuku bekerja padanya, tapi ia tak pernah mempermasalahkan hal itu. Ia membagi mainannya padaku dan dengan santainya berkata bahwa mainannya adalah mainan ku juga, ia bahkan berkata padaku bahwa ia tidak pernah mengunci kamarnya, agar jika aku mau memainkan apapun dari kamarnya aku bisa mengambilnya kapanpun. Dia juga selalu ingin makan dan melakukan apapun yang sama denganku, hal yang membuat ibuku sakit kepala, karena aku tidak mungkin makan makanan mewahnya William dan WillIiam juga tidak mungkin makan makanan biasa sepertiku. Tapi begitulah William, dia selalu menawarkan persahabatan yang sangat tulus untukku, tak memperdulikan status, jabatan ataupun kekayaan.
Ketika kami sudah menginjak usia remaja. Ibuku berpikir bahwa William akan mengabaikan ku. Bagaimanapun, saat remaja William sudah mengerti bahwa perbedaan statusku dan dirinya sangat jauh. Kami lebih pantas disebut atasan dan bawahan, daripada teman baik. Ibuku mengira, William pada akhirnya akan memperlakukanku lebih seperti asisten rumah tangganya daripada temannya.
Tapi tidak, William tak pernah mengacuhkanku.
Saat menginjak remaja, tak ada yang berubah dari William. Ia masih terus bersamaku tak perduli apapun. Pulang sekolah, kami akan mengerjakan tugas bersama, lalu setelah itu kami akan menonton film yang direkomendasikan William, atau jika tidak menonton film, maka kami akan berbincang seharian penuh tentang apa yang kami alami seharian itu. Dan jujur saja, berbincang seperti itu selama seharian penuh tak pernah membosankan untuk kami.
Menginjak kelas satu SMA, William akhirnya dibelikan motor oleh ibunya. Ia belajar mengendarainya selama sebulan sebelum tahun ajaran dimulai, dan begitu tahun ajaran dimulai, ia sudah sangat ahli mengendarainya. Dengan motor itu, William mengantar jemputku di sekolah. Kami berbeda sekolah, tentu saja. Sejak dulu, William selalu bersekolah di sekolah internasional yang SPP-nya puluhan juta pertahun. Ibuku jelas tidak mampu menyekolahkan aku di sekolah bertaraf mahal seperti itu, jadilah aku hanya bersekolah di sekolah negeri biasa. Dan ya, setiap pagi dan sore William selalu mengantar jemputku, hingga membuat teman - temanku iri karena wajah William yang tampan dan kenyataan ia membawa motor yang harganya fantastis. Juga membuat ibuku cemas setiap hari, karena merasa itu sangat tidak pantas.
Kelas satu SMA itu juga, William menyatakan perasaannya padaku. Sebelumnya aku memang sempat dekat dengan beberapa pria, hingga agak mengabaikan William. Dan kurasa itu agak menggerakkan William hingga ia segera menyatakan perasaannya padaku sebelum siapapun bisa menyatakannya.
Dan sejak itu, persahabatan kami berubah nama menjadi berpacaran. Dari situ aku mengetahui bahwa William bukan hanya teman yang baik, tapi juga pacar yang baik. Saat weekend, ia selalu mengajakku jalan - jalan ke tempat yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Mengitari mall, toko buku, cafe, nonton film di bioskop, mendatangi konser dan bahkan mengajakku makan di restoran mewah yang harga minumnya saja sudah membuatku mengernyit. Selain itu, ia nyaris tak pernah memiliki teman wanita yang dekat dengannya, ia selalu memberi kabar padaku saat ia akan pergi, dan ia selalu memperhatikanku untuk segala hal. Benar - benar tipikal kekasih idaman.
Tapi sayangnya, itu adalah masa lalu. Semua kenangan yang berhubungan dengan William hanyalah fantasi indah masa mudaku. Fantasi tentang cinta sejati yang tidak perduli segala hal, mereka akan tetap bisa bersama. Fantasi remaja sebelum berkenalan dengan bagaimana kejamnya dunia itu sebenarnya.
Pada akhirnya, tidak perduli sebanyak apa aku mencintai William, atau bahkan sebanyak apa William mencintaiku, cinta kami hanyalah lelucon. Bagaimana mungkin cinta saja cukup untuk membuatku menjadi menantu seorang pria kaya? Pewaris satu - satunya perusahaan berlian ternama yang sudah mendunia? Perusahaan besar yang kekayaannya tak akan pernah bisa ku samai meski aku bekerja seumur hidupku? Bagaimana bisa orang sekaya dan seterhormat William Maheswara bisa menikahi pembantunya sendiri? Sungguh, itu hanya akan menjadi lelucon terbesar dalam keluarga Maheswara.
Maka aku melepaskannya. Aku membiarkan William bersama siapapun yang ia inginkan, seorang yang pantas bersamanya. Karena, aku tak akan pernah sanggup mengisi posisi orang itu. Menjadi istri William, meski adalah hal yang sangat kuinginkan.... itu adalah sesuatu yang terlalu mewah untuk kudapatkan.