-- Kirana --
Acara ulang tahun itu berakhir pukul lima tiga puluh, kebanyakan orang sudah pulang kerumah masing - masing. Menyisakan ruang tamu yang berantakan, orang - orang yang sibuk kesana kemari, makanan - makanan yang dibersihkan dari lantai ataupun meja, dan aku yang masih setia duduk di salah satu sofa sambil menunggu Kayla dan Rio yang sedang tertawa senang membuka seluruh kado yang didapat Kayla hari ini.
Sejujurnya, aku berharap aku bisa pulang lebih cepat, atau paling tidak bersamaan dengan ibu - ibu lainnya. Berada di rumah William dan istrinya sangat tak tertahankan untukku. Meski saat ini suami istri itu sedang sibuk dibelakang, tetap saja aku tidak nyaman bertemu mereka berdua. Tapi apa dayaku, Rio dan Kayla adalah dua anak yang sulit sekali dipisahkan jika sudah bertemu. Sudah puluhan kali aku membujuk Rio untuk pulang, tapi dia tetap menolak, toleransi terakhirnya hanyalah pulang saat malam tiba. Aku menghela napas, tak tahu lagi bagaimana cara membujuk anak itu.
Selagi menunggu, aku mengarahkan pandanganku melihat - lihat ruang tamu William. Tempat itu luar biasa besar, tapi sepertinya seluruh ruangan sedang dikosongkan untuk acara hari ini. Meski begitu, di bagian dindingnya aku masih bisa melihat banyak sekali foto - foto yang dipajang. Mulai dari foto William dan Jessica dengan berbagai macam pakaian dan gaya, lalu foto pernikahan mereka, foto Kayla saat bayi, foto keluarga bahagia, dan foto keluarga besar mereka. Potret pasangan dan keluarga yang sempurna.
Aku tak punya kesempatan untuk melihat seluruh ruangan di rumah William, tapi aku tahu dengan pasti keseluruhan rumah William ini sangat besar. Ruang tamunya saja nyaris sebesar seperempat rumahku. Dengan tiga lantai dan banyak sekali asisten rumah tangga, bisa dilihat bagaimana mewahnya rumah ini. Hal itu tidak mengherankan sebenarnya, mengingat William adalah pengusaha berlian dan Jessica, seorang mantan aktris yang saat ini juga sedang menjalankan sebuah rumah produksi yang sukses. Rumah sebesar dan semewah ini, sangat cocok untuk mereka.
Hanya saja ... Aku mendadak terbawa ke masa lalu. Sepuluh tahun lalu, ketika aku dan William masih remaja yang dimabuk cinta, kami pernah membahas tentang rumah yang ingin kami tinggali. Aku masih ingat suasananya, saat itu malam yang tenang, dimana seluruh langit dihiasi oleh bintang dan bulan yang berkelip indah, dimana angin berhembus dengan sangat lembutnya. Aku dan William duduk di ayunan lebar di depan kolam renang, kami terbalut dalam satu selimut lebar. Aku bersandar di dada bidang William, sedang tangannya memeluk tubuhku. Sejujurnya itu adalah hal yang kami lakukan setiap malam. Ibuku sangat menentang hubunganku dengan William dan puluhan kali mencoba menyadarkan posisiku dalam hidup William itu seperti apa, sedang ibunya William ... tentu saja beliau juga tidak akan menyetujui hubungan kami. Jadi, jika aku dan William ingin bermesraan, kami hanya bisa melakukannya di tengah malam, ketika ibuku dan ibunya William sudah tidur, seperti waktu itu.
"Kalau kita menikah nanti, kamu mau punya rumah kaya apa, Ran?" Tanya William saat itu.
"Rumah yang setengah lebih kecil dari rumah ini." Jawabku tanpa berpikir dua kali
William terdiam, kemudian ia menundukkan pandangannya ke arahku, yang masih bergelung di dadanya. "Kenapa?" Tanyanya bingung, "kamu gak percaya aku bisa ngehasilin uang sendiri dan bisa beliin rumah sebesar ini buat kamu?"
Aku tertawa, "Enggak lah!"
"Terus?" Tanyanya masih dengan nada bingungnya, "Kamu kan bakal jadi aktris terkenal, dan aku bakal jadi pengusaha sukses. Punya rumah yang mewah, itu bukan sesuatu yang aneh buat kita, kan?"
Aku menarik tubuhku dari pelukan William, kemudian tersenyum lembut menatap William, "Aku suka rumah yang kecil, karena itu lebih terasa kayak rumah. Kamu bayangin deh, kalau punya rumah gede kita akan punya banyak pembantu. Kita perlu tukang kebun, tukang masak, tukang beres - beres, baby sitter...." Aku menghela napas, "Itu rasanya seperti tempat semua orang, bukan milik kita berdua lagi. Jadi karena itulah aku pengennya kita punya rumah kecil aja. Aku pengen 'rumah' itu menjadi tempat dimana kita ingin kembali."
"Tapi rumah besar juga gak ada bedanya. Kan tempat kembali aku ada di kamu." Kata William seraya menyapukan telunjuknya ke hidungku, "Jadi mau rumah kaya apapun ya gak akan ada bedanya, Ran."
Aku menatap William kesal, "Nih ya aku bilangin, kalau kita punya rumah yang kecil kita punya lebih banyak kenangan sama rumah itu. Setiap kali aku masak, seluruh rumah bakal nyium aromanya. Setiap kali anak - anak kita bermain, kita bisa mendengar suara mereka menggema di rumah. Setiap kali kamu pulang ke rumah, aku bakal tahu dan bisa nyambut kamu di depan pintu. Dan lagi, dengan rumah kecil kita juga bisa punya halaman besar. Kita bisa berkebun setiap weekend, dan setiap pagi aku akan menyirami tanamannya. Bagi aku, itulah yang disebut sebagai rumah."
William tampak membayangkannya sebentar lalu tersenyum puas, ia kemudian menarikku agar kembali berbaring di pelukannya. "Iya, aku ngikutin maunya Nyonya Maheswara aja." Bisiknya dengan nada menggoda. Lalu kami berdua tertawa.
Aku mengerjap dan seketika bayangan tentang malam indah itu mendadak buyar. Aku menarik napas dan kemudian mengembuskannya. Anehnya, perkataan kami malam itu terkabul. Sekarang, William berhasil menjadi seorang pengusaha sukses dan menikahi seorang aktris terkenal. Mereka berdua punya rumah besar yang sangat cocok dengan pekerjaan mereka. Lalu aku, aku membeli sebuah rumah kecil yang menggaungkan keceriaan dengan tawa Rio yang bergema setiap hari, rumah kecil yang penuh dengan aroma masakan setiap harinya, dan rumah kecil dengan halaman besar yang mana tanamannya aku sirami setiap pagi. Satu - satunya perkataan kami malam itu yang tidak terwujud hanyalah kami berdua yang tinggal bersama.
"Iya, jadi sisanya nanti diantar ke yang membutuhkan aja mbak...."
Suara Jessica memasuki pendengaran ku, wanita cantik itu sekarang sedang berjalan ke tengah rumah bersama seorang wanita yang kuduga pembantunya, Jessica menghampiri Kayla yang sedang asyik menghamburkan kertas kadonya, sedang pembantunya tadi berjalan ke arah yang berbeda dengan Jessica.
"Mama Rio, maaf ya gara - gara Kayla, Rionya jadi gak bisa pulang juga." Kata Jessica dengan nada bersalah
Aku tersenyum seadanya, "Iya gak apa. Lagian kalau udah kecapekan disini, Rio pulangnya langsung ketiduran juga."
Jessica tersenyum lembut, "Kalau gitu mau ke belakang dulu? Kita ngobrol santai aja, daripada suntuk nungguin Kayla sama Rio disini." Tawar Jessica
"Boleh" Sahutku tanpa berpikir dua kali. Aku segera bangkit dan mengikuti langkah Jessica menjauhi ruang tamu. Ternyata, Jessica melangkah ke mini bar yang ada di depan dapur keringnya. Ia segera duduk di salah satu kursi dan aku duduk di kursi sebelahnya.
"Kamu mau minum apa?" Tanya Jessica
"Teh aja" Jawabku.
Jessica tertawa, "Percaya gak percaya, aku punya banyak teh. Kamu mau teh jenis apa? Aku yakin banget di lemariku pasti ada stok."
"Chamomile?"
Jessica tersenyum, kemudian ia turun dari kursinya dan melangkah ke belakang meja bar untuk mengambil sesuatu, "Of course i have it." Serunya menunjukkan sekotak teh dengan tulisan chamomile tea di depannya.
"Kamu suka teh?" Tanyaku pada Jessica.
Jessica menggeleng, "I am a coffee person. Suamiku, dia yang tergila - gila sama teh. Suamiku itu paling gak bisa kalau pagi itu gak minum teh. Semua teh ini juga koleksinya dia, gak tau kenapa dia suka minum teh yang berbeda setiap pagi."