Tempatmu yang Tak Bisa Kugantikan

Nadia N
Chapter #6

#6 : Cinta itu Memang Buta

-- Jessica --

Kurasa benar apa kata orang, cinta itu memang buta. Ada banyak hal yang harus kugapai, ada banyak hal yang telah kudapatkan, akan ada banyak hal baik yang menantiku di depan, tapi aku mengorbankan segalanya hanya untuk satu orang. Orang yang bahkan tidak pernah mencintaiku. 

  Aku terlahir dalam keluarga yang berada. Memiliki segala yang kuinginkan adalah suatu keharusan bagiku. Jika aku menginginkan sesuatu, maka aku hanya tinggal mengatakannya pada kedua orang tuaku, dan besoknya aku sudah melihat benda tersebut berada di kamarku. Terlahir dalam keluarga berada juga membuatku tak pernah memusingkan soal uang, membeli apapun aku tak pernah memikirkannya dua kali. Hidupku tak pernah kesulitan sejak dulu. 

  Lalu dengan memiliki ayah seorang sutradara terkenal dan ibu yang memiliki Production House terbesar, menjadi seorang aktris semudah membalikkan telapak tangan bagiku. Aku hanya tinggal belajar akting dengan baik, dan film debutku akan dibuatkan. Dikatakan nepotisme, numpang tenar dan sebagainya pun aku tidak terlalu perduli. Bagiku itu bukan salahku terlahir dalam keluarga seperti ini, malah itu merupakan keberuntunganku. Aku akan sangat bodoh jika tidak memanfaatkannya. Kenapa aku harus mendengarkan ejekan orang lain yang hanya iri karena hidupnya tidak seberuntung diriku?

  Jadi, melalui film debutku itu, karirku melesat naik. Berkat belajar akting sejak umurku masih lima tahun, naskah yang bagus, lawan main yang tampan, dan budget film yang tidak main - main. Film debutku sukses besar. Kesuksesan yang berimbas pada karirku. 

  Sejak itulah aku menikmati nyamannya hidup menjadi seorang aktris terkenal. Setiap kali menonton televisi aku akan melihat diriku sendiri di acara gosip maupun sejumlah iklan, setiap kali memposting sesuatu di media sosialku aku akan melihat begitu banyak orang membanjiri kolom komentarku untuk memujiku, setiap kali aku berjalan ke suatu tempat aku akan mendengarkan bisik - bisik namaku digaungkan, dan bahkan ada sejumlah orang yang ingin berfoto atau meminta tanda tangan denganku, setiap kali melakukan promosi film ke luar kota juga, aku akan mendapati serbuan fans yang berkerumun penuh mengikuti setiap langkahku hanya agar bisa bersalaman denganku, saat di lokasi syuting juga, aku selalu diperlakukan seperti seorang Ratu. Aku akan berbohong jika aku tidak menikmati semua itu. Aku sangat menikmatinya, sungguh. Menjadi aktris terkenal dimana kau akan dikenal semua orang dan mendapatkan banyak privilege hanya karena kau terkenal, sungguh menyenangkan.

  Tapi setelah bertemu William, aku melepaskan segalanya. 

Aku melepaskan karir aktingku yang susah payah kuusahakan, aku melepaskan ketenaranku, aku melepaskan semua fans yang telah mencintaiku dan aku melepaskan seluruh masa depan cerahku hanya untuknya.

  Pertama kali aku bertemu William adalah tujuh tahun yang lalu. Itu adalah saat mama memintaku menemaninya arisan. Pada saat itu aku tahu betul bahwa 'arisan' hanyalah akal - akalan mama untuk mempertemukanku dengan anak teman mama bernama William. Berbulan - bulan sebelum hari itu mama sudah berbicara tentang William tanpa henti. Meski yang selalu mama bahas hanyalah betapa tampan dia, karirnya yang bagus, memiliki kepribadian yang baik, dan betapa mama ingin memiliki menantu seperti dia. 

Aku terus tutup telinga mendengar semua itu. Mendengarkan satu hal yang tidak kau sukai selama berulang - ulang cukup untuk membuatmu depresi bukan? Jadi aku tidak mau mendengarkannya lebih lanjut. Tapi mama juga tentu saja memiliki caranya sendiri juga. Mama memintaku menemaninya ke arisan dan mengiming - imingi akan memberikan mobil yang selama ini ia pakai untukku jika aku mau ikut. Yah, mobil mama memang selalu jadi incaranku yang masih diantar jemput supir ini. 

Jadilah aku setuju, aku mengantarkan mama ke arisan di salah satu restoran. Duduk di meja sebelah sambil sibuk dengan makananku sendiri seolah orang yang bukan dibawa oleh mama, dan terus menatap jam tangan menanti kapan mama ingin kembali. 

Pada saat itulah, William datang. Pemuda tampan dengan kemeja berwarna hitam yang bagian lengannya di naikkan hingga ke siku, tubuh jangkung yang seperti model, wajah tampan, rambut kecoklatan yang agak berantakan, dan senyum yang bisa meluluhkan hati siapapun. Aku tidak akan munafik. Manusia adalah makhluk visual, ketika ia melihat sesuatu yang indah saat itulah ia merasa ingin memilikinya. Ketika aku melihat William, seperti itu juga yang aku rasakan. Ya, dia tampan dan karena itulah aku tergila - gila padanya semenjak pertemuan pertama kami. Meski ada banyak kebaikannya yang lain yang akhirnya membuatku jatuh cinta, aku tak akan bohong jika berkata wajah tampannya adalah satu hal yang paling berpengaruh.

Tante Sinta--mamanya William yang sekarang telah menjadi mertuaku-- segera berjalan dengan senyum sumringah ke arah teman - teman arisannya. Meninggalkan William yang tak punya pilihan lain selain mendekatiku di meja samping. Berbagi nasib menjadi 'anak yang terbuang'. Dan itulah pertemuan pertama kami. 

Setelah itu kami menjadi semakin dekat--tentu karena bantuan kedua ibu kami. Entah itu untuk arisan, makan malam keluarga, ulang tahunku, ulang tahun William, ulang tahun nenek William, ulang tahun sepupuku. Semua acara di keluargaku maupun keluarga William membuat kami selalu dipertemukan. Pada saat itulah aku dan William memutuskan untuk menjadi teman. 

Setahun kemudian kami semakin dekat. Kami sering makan bersama, jalan bersama, saling menjadi partner jika ada teman kami yang menikah. Tapi, karena waktu itu aku masih menjadi bagian dunia hiburan, maka aku tidak bisa terlalu mengekspos hubunganku dengan William. 

Lihat selengkapnya