Tempatmu yang Tak Bisa Kugantikan

Nadia N
Chapter #7

#7 : Satu Hari yang Seperti Mimpi

-- Kirana --

.

.

.

.

Aku memejamkan mataku dan merasakan denyutan rasa sakit yang terus bergema di kepalaku. Tidak perduli kemanapun aku membalik tubuhku, aku terus saja merasakan denyutan rasa sakit itu. Seluruh tubuhku juga rasanya hanya memancarkan hawa panas. Demam seperti ini memang selalu sangat menyiksa.

  Selama sepanjang hari, aku hanya bergelung dibalik selimutku, menikmati acara televisi dan menaik turunkan suhu AC di kamarku agar sesuai dengan hawa tubuhku sendiri. Aku hanya sekali bangun dari ranjang, itupun untuk mengambil pesanan yang kupesan secara delivery saja, setelah itu aku kembali lagi ke ranjangku. 

  Seluruh rumah jadi sangat sunyi karena tak ada Rio yang suka berlarian atau berteriak - teriak di sekitar rumah. Dia sedang kuungsikan dirumah mertuaku, agar aku tidak perlu memikirkan pemuda kecilku itu dan bisa fokus mengistirahatkan diriku sendiri. 

  Aku mengangkat wajahku untuk melihat jam di dinding, masih jam empat sore. Waktu sepertinya berlalu sangat lambat jika kau sedang bosan. Aku kembali memejamkan mataku, mencoba membunuh kebosanan dengan tidur lagi.

  Tapi sebelum mataku bisa terpejam, aku lebih dulu mendengar bunyi bel di pintu. Kembali aku membuka mataku, dan sambil menggerutu kesal, aku menurunkan kakiku ke lantai, berusaha berjalan ke ruang tengah. Dengan sambil bertumpu pada dinding, aku berusaha memantapkan langkahku yang terasa goyah, kepalaku semakin berdenyut menyakitkan setiap kali aku melangkah.

  "Sebentar..." Aku berseru dengan suara serak dari dalam ruangan. 

  Aku meraih kunci di belakang pintu, membuka pintu rumah, dan kemudian berjalan terseok melintasi halaman rumah yang entah kapan menjadi sangat panjang ini. Tak adanya asisten rumah tangga membuatku harus merepotkan diri sendiri untuk melakukan segalanya sendirian. Bahkan untuk menerima tamu di depan pagar sekalipun. 

  Dengan bunyi derak yang nyaring, aku menarik pagar rumahku. Seluruh besi - besi yang menghalangi pandanganku dari tamu itu sudah menghilang. Aku segera mengangkat wajahku untuk melihat siapa yang datang, dan segera saja aku tertegun. 

  Dari semua orang di dunia ini, dia adalah orang terakhir yang akan kupikirkan akan berdiri disini ketika aku sendirian. Tapi, kenyataannya dia memang ada disini. Perasaanku segera menjadi kacau sekali lagi.

  "William...." Aku menyebutkan namanya, agar bisa membuat pikiranku sadar bahwa apa yang kulihat memanglah nyata.

  "Kamu sakit? Kenapa kamu sendiri yang buka gerbang? ART kamu mana?" Tanyanya bertubi - tubi, membuatku teringat kembali bahwa salah satu sifatnya yang dulu kubenci adalah kecerewetannya soal kesehatanku. 

  Sesuatu yang sekarang membuatku meleleh.

  "Iya tapi ini cuma demam aja, sekarang aku lagi sendirian jadi mau gak mau aku harus buka gerbang, ART aku lagi libur dan Rio aku ungsiin kerumah mertuaku." Aku menjawab semua pertanyaannya dengan sabar. 

  Di depanku William menatapku dengan tatapan tak percaya, ia terlihat akan marah tapi ia menahannya. Dan tanpa berkata apapun, ia segera mengarahkan telapak tangannya ke dahiku. Untuk beberapa alasan yang tak bisa kujawab, aku tak mampu menghindar dari sentuhannya.

  "Kamu udah ke dokter?" Tanyanya lebih lembut 

  "Udah, kata dokter aku cuma demam aja."

  "Lalu, kamu udah makan?"

  "Belum"

  "Aku temenin kamu hari ini." Katanya 

  Seperti waktu itu, perkataannya ini bukanlah sebuah perintah ataupun keputusan akhir. Ini merupakan sebuah permintaan yang tulus. Aku tahu jika aku menolaknya, maka William akan segera pergi. Aku tahu jika aku tidak menerima kehadirannya dirumahku, dia tidak akan memaksa. Tapi menolaknya juga, sangat sulit. 

  Pikiran dan hatiku berperang. Pikiranku berkata, mengizinkannya hari ini berarti mulai mengubah nama hubungan yang kami miliki. Aku bisa saja akan membuat celah untuk hubungan lainnya dengan pemuda ini jika aku mengizinkannya. Tapi hatiku, hatiku yang lemah ini menentangnya. Sepuluh tahun aku merindukannya, ketika ia sekarang di depanku, bagaimana aku bisa menolaknya begitu saja? 

  Dan sebelum aku bisa berkata apapun, William sudah lebih dulu menarik pergelangan tanganku, lalu dengan lembut membawaku ke arah mobilnya dan menyuruhku masuk. Aku tidak menolaknya. Jadi kubiarkan saja dia melakukan apapun yang dia inginkan. 

Ya, pada akhirnya pikiranku lah yang kalah.

 William menjalankan mobilnya masuk ke dalam pekarangan rumahku, ia dengan santai memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Seakan dirumahnya sendiri. Setelah itu, ia turun dari mobilnya dan berjalan kearahku, membukakan pintu mobilnya untukku. 

  "Kamu masuk, aku yang bakal ngunci gerbang rumah kamu." Perintahnya, satu tangannya menjulur ke depanku untuk meminta kunci gerbang. 

  Aku mengangguk, lalu menyerahkan kunci gerbang itu ke tangannya. Kemudian aku sendiri turun dari mobilnya dan masuk ke dalam rumahku sendiri. Aku memilih untuk duduk di ruang tamu sambil menunggunya. Lima menit kemudian, William masuk ke dalam rumahku. Tangannya penuh dengan kantung plastik. 

  "Dapur kamu dimana?" Tanyanya 

  "Keluar dari sini, kamu lurus aja, kamu bakal ketemu dapur." Jawabku 

  Dia mengangguk mengerti, lalu segera beranjak ke arah yang kutunjuk. Aku sendiri kembali menyandarkan kepalaku di sandaran sofa, terlalu pusing untuk berpikir lagi. Apapun yang terjadi selanjutnya, biar saja terjadi. 

  "Aku beliin kamu bubur. Aku juga udah buatin teh hangat dengan jahe kesukaan kamu." Katanya sambil meletakkan nampan yang dibawanya ke meja di hadapanku

  William lalu duduk disampingku, tangannya mengambil salah satu bantal yang ada di sofa lalu meletakkannya di pangkuanku. Kemudian, ia mengambil bubur di nampan dan meletakkannya diatas bantal. 

  "Makan." Katanya dengan nada memerintah

  Jujur saja, aku tidak mood untuk makan. Lidahku mati rasa, tenggorokanku sakit setiap kali aku meneguk makanan apapun, selera makanku pun tidak ada sama sekali. Tapi seakan William adalah seorang Raja, aku tetap saja memakan bubur di hadapanku itu. 

Lihat selengkapnya