-- William --
Aku mengerjap ketika merasakan sinar matahari bersinar membakar satu sisi wajahku. Segera saja aku merasakan tubuhku terasa tidak nyaman. Aku tidak terbiasa bangun setelah matahari bersinar terang seperti ini. Biasanya, Jessica selalu membangunkanku sebelum matahari terbit, dia tahu aku suka lari pagi saat suasana masih segar. Itu adalah salah satu dari sekian banyak pengorbanan Jessica untukku, dia dulu tidak bisa bangun pagi, tapi demi agar bisa membangunkanku dia selalu menyetel alarm pukul lima supaya dia tidak bangun kesiangan lagi dan bisa membangunkanlu.
Sial, memikirkan Jessica membuat pikiran dan perasaanku menjadi kacau. Wanita itu, dia pasti tidak akan curiga jika aku telah menghabiskan malam dengan wanita lain, cintaku di masa lalu, malam tadi. Tapi aku tahu, lebih dari apapun, dia akan sangat hancur jika mengetahuinya.
Aku mengusap mataku dan segera saja bangkit untuk duduk di sofa tempatku tidur malam tadi. Sebuah selimut meluncur turun karena pergerakan mendadakku, aku menatap selimut itu dan baru saja menyadari bahwa Kirana pasti menyelimutiku malam tadi. Karena saat aku tidur, aku ingat aku tidak memakai selimut. Aku mengangkat wajahku untuk melihat Kirana, tapi dia sudah meninggalkan tempat tidurnya. Saat ini tempat tidur itu terlihat berantakan.
Wanita ini tidak berubah sedikitpun. Masih saja suka meninggalkan tempat tidurnya berantakan di pagi hari.
Aku bangkit berdiri dan segera melipat selimutku, juga selimut di ranjang Kirana. Di tengah - tengah kegiatanku, samar - samar aku bisa mencium bau bubur di udara, lalu bau harum dari white tea, dan kemudian aku juga bisa mendengar seseorang yang sedang memasak di dapur.
"Aku suka rumah yang kecil, karena itu lebih terasa kayak rumah. Kamu bayangin deh, kalau punya rumah gede kita akan punya banyak pembantu. Kita perlu tukang kebun, tukang masak, tukang beres - beres, baby sitter ... Itu rasanya seperti tempat semua orang, bukan milik kita berdua lagi. Jadi karena itulah aku pengennya kita punya rumah kecil aja. Aku pengen 'rumah' itu menjadi tempat dimana kita ingin kembali. "
"Nih ya aku bilangin, kalau kita punya rumah yang kecil kita punya lebih banyak kenangan sama rumah itu. Setiap kali aku masak, seluruh rumah bakal nyium aromanya. Setiap kali anak - anak kita bermain, kita bisa mendengar suara mereka menggema di rumah. Setiap kali kamu pulang kerumah, aku bakal tahu dan bisa nyambut kamu di depan pintu. Dan lagi, dengan rumah kecil kita juga bisa punya halaman besar. Kita bisa berkebun setiap weekend, dan setiap pagi aku akan menyirami tanamannya. Bagi aku, itulah yang disebut sebagai rumah."
Aroma dari bubur itu segera saja membuatku teringat masa lalu, ketika aku dan Kirana masih bersama dan kami membahas tentang rumah yang ingin kami tinggali bersama. Dia bilang dia ingin punya rumah yang kecil, dan saat itu aku tidak mengerti kenapa ia menginginkan rumah kecil, kupikir itu hanya karena dia tidak ingin membebaniku. Tapi hari ini aku mengerti.
Rumah yang kutinggali bersama Jessica sangat besar, ketika ada seseorang yang memasak baunya tak akan menyebar ke seluruh rumah seperti ini, bahkan bunyi apapun tak akan terdengar dari kamarku jika seseorang sedang memasak di dapur. Dengan rumah sebesar itu juga, aku memerlukan banyak pembantu untuk mengurusnya. Setidaknya ada delapan ART, satu tukang masak, dua tukang kebun, satu supir, dan satu baby sitter di rumahku saat ini, semua orang itu membuatku tak bisa merasa bahwa rumahku itu adalah sebuah tempat milikku, rasanya itu seperti milik semua orang. Dengan begitu banyak orang itu juga, aku tak punya banyak privasi. Selain kamar, ruang kerja, dan perpustakaan, aku tak bisa menikmati waktu tanpa dilihat orang berlalu lalang. Rumah besar itu, entah kenapa tak bisa kuanggap menjadi tempatku kembali.
Disisi lain, rumah Kirana ini terasa persis seperti Kirana. Sederhana, hangat, dan menyenangkan. Aroma memasak di pagi hari, suara gelak tawa anak - anak yang selalu bergema seperti pertama kali aku kemari bersama Kayla, dan begitu mudah untuk merasa nyaman disini.
Sekali lagi, pikiran liarku berkeliaran. Seandainya sepuluh tahun lalu aku dan Kirana berhasil mewujudkan pernikahan kami, mungkin segalanya seperti pagi ini. Aku akan bangun di pagi hari dengan membangunkan Kirana--wanita itu selalu merasa bahwa bangun pagi adalah siksaan--lalu selagi aku membereskan ranjang, Kirana akan memasak, ketika aku selesai bersiap kami akan sarapan bersama di meja makan, lalu saat aku pulang bekerja nantinya, kami bisa bersantai dimanapun dirumah tanpa ada siapapun yang akan memperhatikan. Dan kami mungkin akan bisa berbincang sampai kami tertidur.
Yah, itu adalah satu hal lainnya yang bisa dengan mudah menyatukanku dan Kirana, memisahkanku dengan Jessica di sisi lain. Aku tumbuh besar bersama Kirana, dan dengan begitu selera kami menjadi sama, aku jadi bisa membicarakan segala hal dengannya. Sedang bersama Jessica, nyaris tak ada persamaan antara aku dan dia. Setiap hari yang kami bahas hanyalah keseharian kami, perkembangan Kayla, pekerjaan dan keuangan rumah tangga. Aku tidak akan menganggap itu membosankan, hanya saja, aku tak punya hal untuk dibagi bersama Jessica, sedang bersama Kirana, aku bisa menjadi diriku seutuhnya. Menjadi seseorang yang benar - benar kuinginkan.
Aku menghela napas, mencoba mengingat kembali Kayla dan segala pengorbanan Jessica dirumahku sendiri. Memikirkan wanita lain dan membandingkannya dengan istriku sendiri, akan membuat rasa bersalahku pada Jessica bertambah besar.
"Will!" Seru Kirana di depan pintu.
Wanita itu sekarang tampak baik - baik saja, aku tidak tahu apakah demamnya sudah turun atau apakah kepalanya sudah tidak pusing lagi, tapi melihatnya tampak segar dan tidak pucat lagi cukup membuatku lega. Dia menundukkan pandangannya kearahku yang sedang menumpuk selimut diatas ranjang yang sudah rapi, dan senyum malu mengembang di bibirnya.
"Kapan kamu belajar ngerapiin tempat tidur setiap pagi?" Tanyaku menggodanya.
Kirana meringis, "Gak sempat! Aku kan harus mandi, masak, terus sekarang ada Rio, aku harus siap - siap ngantar dia sebelum jam delapan."
"Kalau kamu bangun lebih pagi...."
"Oke aku udah denger itu dari dulu, lebih baik kita sarapan aja, daripada bahas yang satu itu." Kirana dengan cepat memotong omonganku