-- William --
Setelah Kirana menceritakan segala alasannya meninggalkanku, mau tak mau aku mengingat lagi bagaimana dulu saat pertama kali aku ditinggalkan oleh Kirana. Saat itu aku merasa segala hal yang kuperjuangkan seakan sia - sia.
Selama ini--seperti Kirana--aku tahu dengan jelas bahwa mama tak akan merestui hubunganku dengannya. Maka dari itu, aku belajar dengan keras sejak SMA. Hanya dengan begitu aku bisa lepas dari bayang - bayang mama. Aku berniat melepaskan statusku sebagai pewaris WM Jewelry, dengan begitu aku bisa membangun usahaku sendiri, dan mama tak akan bisa menentang hubunganku dengan Kirana.
Itu tak hanya sekedar anganku. Aku sudah mengumpulkan sejumlah uang yang cukup untuk kujadikan modal awal usahaku, dan dengan nama ibuku, aku bisa lebih cepat mendapatkan konsumen. Segera setelah aku kembali ke Indonesia, aku berniat untuk mengubah rumah yang ditinggalkan ayah untukku--rumah yang kutempati sekarang--menjadi sebuah rumah makan. Aku dan Kirana serta ibunya bisa merintis usaha itu bersama.
Karena itulah, rasanya sangat menyakitkan ketika mama mendadak mengirimkan undangan pernikahan Kirana. Karena undangan pernikahan itu meruntuhkan segala rasa semangat yang telah mengobar selama ini. Karena dia dulunya adalah tujuanku.
Bersama Jessica, rasanya tak lebih membahagiakan. Aku memang menyayanginya, apalagi Kayla. Tapi hidup bersamanya agak tidak tertahankan untukku. Setiap kali mengingat ia mengorbankan karirnya yang cemerlang, aku merasa terbebani. Aku tahu dia melakukan segala hal yang tidak ia sukai, dan mengorbankan segala hal yang ia sukai hanya untukku. Tapi itu malah membuatku menjadi bersalah setiap harinya. Karena sampai detik inipun, aku tak bisa membalas kebaikan hatinya. Aku tak bisa mencintainya, seperti yang ia harapkan.
Aku memikirkan semua hal ini selagi pulang kerumah. Ya, rumah, tempatku merasa terbebani setiap harinya. Menyedihkan, ketika semua orang menganggap rumah mereka sebagai tempat peristirahatan setelah lelah bekerja. Aku malah merasa tempat ini adalah tempat melelahkan lainnya yang harus kusinggahi setiap harinya selain kantor.
"Papaah!" Teriakan nyaring Kayla menyambutku di depan pintu.
Gadis kecilku itu segera berlari menyambutku, lalu memeluk kakiku. Aku tersenyum, kemudian segera menundukkan tubuhku agar bisa setara dengan gadis kecilku itu.
"Papah kok pulangnya sore?" Tanya Kayla
"Biar bisa ngajak Kayla main!" Seruku seraya mencubit pipinya.
Kayla memekik senang, "Ayo pah! Kayla mau main barbie!" Seru Kayla dengan senang, tangan kecilnya menarik satu jariku.
Aku tertawa, kemudian mengangkat Kayla ke dalam pelukanku, lalu membawanya ke kamarnya. Disana, Kayla menunjukkan beberapa koleksi barbienya padaku dan menjelaskan satu persatu nama dan bahkan cerita kehidupan barbie tersebut berdasarkan karangannya.
Kayla memberikan salah satu boneka barbie itu ke tanganku, memintaku memainkannya. Aku memperhatikan barbie itu sejenak, lalu segera tersenyum. Kuambil sisir untuk barbie lalu melepas ikatan rambut barbie yang sebelumnya tampak berantakan, kemudian mengepang rambut barbie itu hingga menjadi kepangan yang rapi.
"Papaah! Papah bisa ngikat rambut barbie?" Tanya Kayla takjub
"Iya, papah dulu belajar sama seseorang." Jawabku
"Papah hebat!" Seru Kayla bertepuk tangan, "Mama aja gak bisa ngikat rambut serapi itu."
Aku tersenyum. Keahlian mengikat rambut itu, tentu saja kutemukan dari Kirana. Sejak dulu, Kirana selalu memiliki rambut panjang, dia tak pernah memotongnya hingga pendek. Dan saat kami kecil, aku suka sekali melakukan eksperimen pada rambut panjang Kirana. Dia selalu protes jika aku membuat ikatan aneh pada rambutnya, dan akhirnya ia mengajariku bagaimana cara mengikat rambut dengan rapi. Hingga akhirnya aku terbiasa mengikat rambutnya dengan rapi. Hal itu bahkan masih kulakukan hingga kami SMA. Saat kami berduaan, aku suka sekali melakukan eksperimen dengan rambutnya.
Memikirkan Kirana, membuatku teringat pada keputusanku lagi. Saat bersama Kirana, aku tidak ragu sama sekali. Aku tahu kebahagiaanku ada padanya, dan aku tahu bersamanya adalah hal yang paling kuinginkan. Tapi setelah kembali kerumah, aku sekali lagi mulai ragu. Bagaimana bisa aku meninggalkan Kayla? Semenjak dia lahir, aku telah mencintainya lebih dari apapun di dunia ini. Juga, bagaimana bisa aku mengabaikan pengorbanan Jessica begitu saja? Apakah bersama Kirana dan melepaskan segalanya benar - benar setara?
"Kayla..." Panggilku pada putriku itu.
Kayla mendongak menatapku, matanya yang mirip dengan mataku itu bersinar dengan rasa penasaran, "Kalau... papah sama mama pisah gimana?" Tanyaku sepelan dan seramah mungkin.
Kayla mengerjap bingung, tapi aku melihat ketakutan di wajahnya, "Kayla gak bisa liat mama sama papah lagi?" Tanyanya tercekat
"Enggak, Kayla masih bisa liat papah sama mama, tapi gak setiap hari. Kayla ... hm ... Kayla cuma lebih banyak tinggal sama mama aja." Jawabku lembut
Kayla menggeleng cepat, "Gak mau!" Serunya
Untuk sesaat, rasanya aku tidak bisa bernapas, melihat ketakutannya membuatku menjadi lemah. Aku segera tersenyum, lalu mengusap rambutnya lembut, "Papah cuma bercanda sayang. Kamu gak bakal kehilangan papah kok." Kataku