-- William --
Saat ini sudah jam sebelas malam, aku menikmati malam yang sejuk di kebun milik mama, sambil mengamati bulan yang bergantung terang diatas sana. Keputusanku sudah bulat. Aku akan meninggalkan Jessica dan Kayla, untuk bersama Kirana.
Ya, ini memang keputusan egois. Tapi seperti kata mama, hidup cuma sekali. Aku tidak yakin aku bisa menghabiskannya hanya dengan penyesalan dan perasaan terbebani. Seumur hidup terlalu panjang dan kehidupan ini hanya terjadi sekali. Bagaimana bisa aku membuangnya begitu saja?
Tapi diatas semua itu, sebenarnya hal yang membuatku yakin adalah hal yang sangat sederhana. Senyumnya Kirana. Membayangkan kami berdua tinggal di rumah kecil dan berbincang selama nyaris dua puluh empat jam tentang segala hal, terlalu memabukkan. Itu adalah keindahan yang tidak bisa aku tolak. Jadi, dengan memejamkan mata, aku akan memutus semua tali yang mengikatku dan kemudian menggenggam tangan Kirana sekali lagi.
"Pak Will! Pak William!" Seru Mbak Ningsih, ART mama setelah ibunya Kirana berhenti.
Aku menoleh menatapnya, "Ada apa?" Tanyaku
"Ibu Jessica nelpon!" Katanya
Aku mendengus kasar, seharian ini aku sudah mematikan ponselku agar tak mendapat panggilan dari Jessica lagi. Dan sekarang dia malah menelpon telepon rumah mama.
"Bilang aja aku gak ada." Sahutku tak perduli
"Tapi pak ... Ibu Jessica bilang ini penting, katanya non Kayla masuk rumah sakit karena kejang - kejang!"
Jantungku seakan berhenti berdetak. Tanganku gemetar tak terkendali. Dengan panik, aku segera bangkit.
"Rumah sakit mana?" Tanyaku
"RSCM pak" Jawabnya
"Bilang ke mama, Kayla masuk rumah sakit. Aku sekarang kesana." Pesanku
Tak lagi mendengarkan apa kata ART itu, aku bergegas naik ke kamarku, mengambil satu jaket dan celana panjang pertama yang dapat kuambil. Lalu, mengambil kunci mobil dan dengan panik berjalan keluar rumah.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, pikiranku berkecamuk. Kirana sepenuhnya menghilang dari pikiranku, dan Kayla memenuhi pikiranku. Aku sangat takut, ini pertama kalinya aku merasa setakut ini. Aku merasa bisa saja gila jika mendengar kabar menakutkan begitu tiba disana.
Aku tidak terlalu ingat bagaimana semua kejadian sebelum aku tiba di depan ruangan Kayla. Memarkir mobil, bertanya di resepsionis dan lain - lainnya. Rasanya seperti semua itu tak pernah kulakukan. Yang kuingat hanyalah aku berlari menuju arah yang ditunjukkan otakku, lalu aku nyaris lumpuh ketika melihat Jessica terisak keras di ruang tunggu.
"Jessica!" Seruku
Jessica mendongak, matanya sembab, seluruh wajahnya merah dan membengkak, tubuhnya gemetar hebat. Aku segera duduk disampingnya, lalu memeluknya. Wanita ini hanya luarnya yang terlihat kuat, tapi aku tahu dia sangat lemah. Jika ada sesuatu terjadi padaku atau pada Kayla, dia pasti akan segera hancur. Dengan lembut aku membelai rambutnya, menenangkannya.
"Will... Kayla! Aku takut!" Serunya terbata
"Ssh, Kayla pasti baik - baik aja." Aku menenangkannya
Berjam - jam kemudian akhirnya berlalu dengan lambat, tubuh Jessica berangsur mulai lebih tenang, tapi tangannya masih gemetar dan sedingin es. Pada saat itu, dokter yang memeriksa Kayla akhirnya keluar dari ruangan itu.
"Gimana keadaan anak saya dok?" Tanyaku segera
"Demamnya terlalu tinggi, makanya dia tadi kejang - kejang. Kondisinya sekarang sudah stabil, tapi dia masih harus di opname untuk memulihkan kondisinya." Jelas dokter itu