Akhirnya libur panjang yang kunanti-nantikan tiba. Aku menghabiskan sisa cuti yang memang sengaja tidak kuambil di awal-awal, agar aku bisa menikmati liburan dengan maksimal. Apalagi ditambah dengan deretan tanggal merah hari libur nasional dan cuti bersama. Ah, indah sekali akhir tahun ini. Di hari terakhir masuk kantor, tak lupa kukatakan pada teman-teman dan atasanku bahwa aku tidak mau dihubungi untuk soal pekerjaan apapun bentuknya, dan mereka setuju. Tentu saja, aku tidak mau liburanku yang indah ini diganggu dengan urusan kantor yang memusingkan. Tidak asyik bukan saat liburan ragaku di kampung halaman, tapi otakku di kantor.
Delapan jam perjalanan, dan akhirnya kami sampai di kampung halamanku yang asri. Pemandangan lautan sawah padi yang sedang hijau-hijaunya tampak sangat menyegarkan.
“Ma, nanti kita nginep di rumah Tante Ita juga kan?” tanya Syifa, adikku.
Mama menggeleng. “ Enggak, Sayang. Ngapain ke rumah Tante? Kan Tante kerja. Paling nanti Tante yang main ke rumah Eyang.”
Mendengar itu, Syifa langsung cemberut. “Yaah, padahal aku pengen banget nginep di rumah Tante.”
Rumah Tante Ita terletak di ibukota Kabupaten, cukup jauh dari rumah Eyang. Ya, tempat tinggal Tante Ita memang menyenangkan. Sebuah kota kecil dengan fasilitas lengkap, tapi masih asri. Berbeda dari rumah Eyang benar-benar terletak di perdesaan yang sepi. Aku sendiri pun sebenarnya ingin juga menginap beberapa hari di rumah Tante Ita agar puas jalan-jalan keliling kota dan mencicipi kuliner khas kota itu.
***
Dua hari kemudian, Tante Ita berkunjung ke rumah Eyang. Namun ia tidak menginap karena harus bekerja besok pagi. Ya, Tante Ita adalah seorang perawat yang liburnya tidak menentu.
Seketika suasana rumah langsung ramai begitu Tante Ita tiba. Tante Ita adalah pribadi yang ceria dan suka mengobrol, sama seperti Mama. Terbayangkan kan seperti apa ramainya kalau dua karakter seperti itu bertemu?
“Aku ikut Tante ya, Ma,” kata Syifa. “Kata Tante nggak apa-apa kalau aku mau nginep.”
“Aduuh jangan. Nanti Tante Ita repot lagi,” kata Mama. “Nanti aja kita ke sana kalau mau pulang ke Jakarta.”
“Aah, nggak mau. Pasti nggak nginep entar,” Syifa merajuk. Karena memang itu yang selalu terjadi.
“Ya udah lah, Mbak. Nggak apa-apa kalau Syifa mau ikut. Aku nggak repot kok. Aku malah senang kalau ada Syifa di rumah, jadi ada temannya,” sahut Tante Ita.
Ya, Tante Ita memang tinggal sendirian di rumahnya. Ia adalah anak bungsu Eyang, masih muda, dan belum menikah. Umurnya pun tidak terpaut terlalu jauh denganku.
“Ya udah, nggak apa-apa kalau kamu mau ikut Tante Ita,” akhirnya Mama mengijinkan. “Nanti pulangnya Papa jemput.”
Wajah Syifa langsung tampak sumringah.
“Laras, kamu mau ikut juga nggak?” tawar Tante Ita.
“Ikut dong, Tante,” jawabku cepat, dengan sama sumringahnya.