Kali pertama aku mengingatnya usiaku baru dua puluh dan masih tinggal di kamar kos kecil berukuran 3 x 3 meter. Saat itu hujan turun tanpa suara. Tiap tetes yang jatuh seperti menghantam sebuah ruang hampa hingga suaranya lenyap tak bersisa. Itu adalah hujan pertama di bulan Agustus, tahun 2008.
Ponselku kembali berdering. Sedikitpun aku tak berniat untuk menjawabnya. Ponselku berdering setidaknya tiga belas kali sebelum akhirnya benar-benar berhenti. Mengapa harus tiga belas kali aku tak mengerti, dan apa yang Ibu pikirkan setelah tiga belas kali teleponnya ku abaikan aku juga tak peduli.
Barangkali saat itu aku sedang ingin menyongsong ulang tahunku yang ke dua puluh dengan penuh ketenangan. Terlebih, aku memasuki usia dua puluh tanpa memiliki bayangan ideal tentang masa depan. Pergi kuliah tiap pagi, menjadi pegawai negeri, menikah di umur dua puluh lima, bekerja sampai umur enam puluh, sakit-sakitan, lalu meninggal dan dilupakan. Mungkin terdengar seperti hidup yang menyedihkan, tapi sekeras apapun mengabaikannya pikiran-pikiran seperti itu terus menjejali otak sampai membuatku sakit kepala.
“Bagaimana menurutmu?”
Seperti biasa dia hanya menggeram lirih membalas perkataanku tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya. Namanya Tuan Kucing, seekor kucing jantan berwarna hitam yang menyebalkan, memiliki bintik putih di bawah mata kirinya, dan selalu bermalas-malasan. Tuan Kucing memang berbeda dari kebanyakan kucing pada umumnya. Dia tidak suka bermain, juga tidak suka menggoda kucing-kucing betina yang sesekali lewat di jalanan. Sehari-hari yang dia lakukan hanyalah tidur, makan, dan mengeluarkan bulatan-bulatan panjang dari lubang pantatnya.
“Apa kau tidak ingin mengucapkan selamat ulang tahun?”
Setiap kali aku mengajaknya bicara Tuan Kucing cuma menatapku lesu, lalu menguap lebar sambil meregangkan kaki-kakinya seakan tak peduli.
***
Aku kuliah jurusan Teknik Sipil tahun ketiga. Kenapa Teknik Sipil sampai sekarang jawabannya tidak pasti. Mungkin karena suka menggambar dan ingin cepat kaya, cuma itu alasan paling masuk akal, meskipun pada akhirnya kemampuanku menggambar tidak terlalu dibutuhkan.
Hari itu aku belajar tentang jalan, jenis-jenis jalan, kerusakan jalan, dan cara memperbaikinya. Aku tidak mengerti kenapa harus mempelajari hal-hal seperti ini. Setelah lulus nanti aku tidak ingin membangun jalan, ataupun memperbaiki lubang-lubang di jalanan. Yang ku inginkan adalah membuat rumah, bermacam-macam rumah dalam berbagai ukuran.
Karena bosan, aku keluar di pertengahan kelas dan pergi ke kantin. Pukul sebelas kantin tidak terlalu ramai, setelah membeli sekaleng coca-cola, aku duduk sendiri di pojokan sembari menunggu kelas usai.
Di kampus aku tidak banyak bergaul, Aku hanya mengobrol seperlunya dengan teman jurusanku, hubunganku dengan mereka cuma sebatas kenalan, sekadar formalitas dalam pekerjaan kelompok. Mungkin bagi mereka aku orang yang kaku dan membosankan. Padahal sejatinya aku hanya menghindari masalah. Semakin banyak menjalin hubungan, maka masalahku akan bertambah, begitulah yang kupahami.
Meski begitu, waktu itu aku pernah memiliki seorang teman. Namanya Panca, mahasiswa teknik mesin tahun ketiga. Panca bekerja di sebuah kedai teh kecil di belakang kampus. Kalau sedang bosan dan tidak memiliki kegiatan lain untuk dilakukan, terkadang aku mengunjungi tempat itu.
Letaknya yang strategis membuat kedai ini selalu ramai di malam hari. Kursi-kursi kayu, lampu redup kekuningan, aroma teh, serta musik klasik yang mengalun lembut membuat tempat ini cocok untuk berbincang dan menenangkan pikiran.
Sambil menunggu Panca aku duduk di konter memperhatikan jejeran toples kaca berisikan macam-macam daun teh. Sesekali aku juga menoleh ke belakang, mengawasi setiap orang yang datang dan pergi silih berganti. Setelah melayani pelanggan, Panca menghampiriku sambil membawa segelas teh hitam.