Tempurung Kaca

Panca Lotus
Chapter #3

Bab I - Tuan Kucing dan Gadis Penyiar Radio (Bagian 2)

Aku sedang minum teh saat seorang gadis tahu-tahu duduk di sampingku. Tanpa mengucap sepatah kata dia langsung menarik kursi kayu, lalu menelungkupkan kepalanya ke atas meja konter. Sama sekali tidak ada yang aneh dari pemandangan itu. Sampai kemudian, sayup-sayup terdengar suara seperti orang menangis.

Aku coba berdeham beberapa kali. Dua, tiga detik menunggu tidak ada respon yang muncul.

"Permisi," kataku.

Pelan-pelan gadis itu memiringkan kepalanya, kemudian menatapku sinis, "Siapa?" 

"Bukan siapa-siapa,” jawabku

Dengan masih sesenggukan gadis itu bertanya lagi, "Keperluanmu?"

“Tidak ada, aku bertanya karena kamu menangis.”

“Tidak boleh?”

“... bukan itu maksudku.”

“Tidak suka?"

“Bukan begitu juga”

“Lalu?”

Lalu aku terdiam. Aku sama sekali tidak keberatan kalau dia menangis. Mau dia menangis sambil menjerit sekalipun aku tidak punya hak untuk melarangnya. Hanya saja, kalau dia tiba-tiba datang dan menangis seperti itu rasanya sedikit mengganggu.

Di belakang kasir terdapat tulisan Kedai Teh Gemawang yang berkilau karena dikelilingi lampu-lampu tumblr. Selama beberapa saat aku hanya mengaduk-aduk gelas teh sambil memandangi tulisan itu. Sampai kemudian, gadis itu tiba-tiba berkata, “Aku baru saja mengalami hari yang buruk."

Aku menoleh, tanpa menanggapi. 

"Apa kamu mendengarkan?" 

"Hmm," kataku.

"Apa maksud hmm hmm mu itu?"

Aku menggeleng, “Tidak ada maksud apapun. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, jadi tidak bisa menanggapi dengan baik."

Seperti menahan kesal gadis itu menghela nafas panjang, lalu kembali bicara dengan suara yang lebih tenang. "Sahabatku baru saja meninggal. Padahal selama ini kupikir nyawanya lebih banyak dari kucing, tapi kucing dengan sembilan nyawa sekalipun pada akhirnya akan mati." 

Saat gadis itu mulai bercerita aku sedikit memutar badan, lalu meletakan sebelah tanganku ke atas meja.

"Tahu tidak? Dia pernah tersedak biji salak dan hampir meninggal," ucap gadis itu melanjutkan, "Biji salak itu menyumbat tenggorokannya sampai membuatnya sesak nafas. Bahkan dia juga pernah sakit parah sampai sekarat, beberapa kali menjalani operasi, dan pada akhirnya masih selamat. Sungguh, kupikir dia manusia dengan sembilan nyawa. Tak ada yang menduga kalau hari itu dia benar-benar meninggal.”

"Aku turut berduka untuk sahabatmu."

"Ya," kata gadis itu, "Sepantasnya memang begitu. Semua orang harusnya berduka saat sahabatku meninggal. Tapi faktanya? Tak seorangpun peduli, dunia terus berjalan seolah tidak terjadi apa-apa. Dari dulu dia hidup seorang diri, tidak punya kerabat, juga tidak punya sahabat yang bisa menyumbang air mata. Tak seorangpun menangis waktu dia dimakamkan. Akupun begitu, rasanya saat itu aku seperti lupa cara menangis. Gara-gara itu aku merasa kesal."

Lihat selengkapnya