Tempurung Kaca

Panca Lotus
Chapter #6

Bab IV - Tamu dari Selatan

Aku langsung pulang begitu kelas berakhir pukul tiga. Entah pelajaran apa yang kudapat hari ini aku sama sekali tidak tahu. Kelas pagi aku membolos, dan siangnya aku tidur di bangku belakang. Selama tiga tahun kuliah roda kehidupanku terus berputar seperti ini.

Begitu sampai di kos tuan kucing langsung menyelinap diantara kedua kakiku dan berputar-putar di sana. Kalau seperti itu tandanya dia sedang lapar. Aku menggendongnya sejenak, lalu mengambil kotak makannya yang tersimpan di dalam lemari. Selama dia makan aku coba menyentuh tubuhnya dengan lembut. Namun, saat aku melakukan hal itu Tuan Kucing malah menggeram tegas, lalu kabur ke bawah ranjang seolah ingin mengatakan kalau dia tidak ingin diganggu. Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian tersenyum kecil. Dasar kucing tidak tahu sopan santun, batinku. 

Akhir Agustus Ibu menelpon sebanyak tiga kali, karena teleponnya ku abaikan Ibu mengirimiku sebuah pesan. Ibu bilang sedang dalam perjalanan menuju kemari naik kereta. Kalau lancar kereta tiba pukul tujuh malam nanti, sehingga Ibu memintaku menjemputnya di stasiun. Karena terkejut aku balik menelpon dan bertanya apa yang ingin Ibu lakukan. Namun, sampai tiga kali telepon berdering tidak ada jawaban.

Aku tiba di stasiun pukul tujuh lewat lima dan kereta baru sampai pukul setengah delapan. Cuaca dingin di stasiun membuatku sangat mengantuk dan ingin tidur cepat. Saat Ibu datang aku mengangkat sebelah tanganku ke udara. Ibu memakai jaket tebal dengan masker yang menutupi wajahnya. Tidak ada koper maupun tas jinjing berukuran besar. Hanya ada tas enamel merah yang melingkar di pundak kanannya.

Karena belum makan malam, Ibu mengajakku keluar dari stasiun lalu pergi ke restoran keluarga di dekat situ. Ibu memesan sup jamur dan jus buah naga, sementara aku hanya memesan susu hangat. 

“Tidak makan?” tanya Ibu.

“Sedang tidak lapar,” jawabku.

Sambil menunggu pesanan datang Ibu terus bertanya seperti seorang wartawan, dan aku cuma merespon pertanyaannya dengan jawaban ya, tidak, dan begitulah, atau kalau tidak tahu harus menjawab apa aku hanya mengangkat kedua bahu secara bersamaan.

“Kamu tampak lesu, tidak sakit, kan?”

“Tidak. Hanya sedikit mengantuk, hari ini kuliah sampai sore.”

“Tapi berat badanmu kelihatannya juga turun?”

“Ya, begitulah,” kataku.

“Makanlah. Biar sedikit yang penting makan teratur.”

Nanti, kubilang. Ibu mendesah kecil, kemudian bertanya lagi, “Bagaimana kuliahmu?”

“Biasa saja,” balasku. Menurutku itu adalah jawaban paling tepat. Jawaban biasa saja memiliki maksud tidak ada hal buruk yang terjadi dan tidak ada hal baik yang layak diceritakan. Dengan begitu tidak ada pertanyaan lanjutan.

Saat pelayan mengantarkan pesanan Ibu makan dengan tenang. Tidak ada obrolan berarti yang terjadi. Ibu menawariku sup jamur, dan agar dia tidak rewel aku mencobanya sedikit. Rasanya hambar dan tidak dimasak dengan baik, meski begitu Ibu memakannya sampai habis.

“Jadi, ada keperluan apa?” Setelah makan malam aku bertanya seperti itu.

Lihat selengkapnya