Agustus berganti September hujan mulai turun hampir tiap hari. Setiap Sabtu malam aku selalu mendengarkan Melodi Nite. Selain karena menarik, aku juga penasaran dengan kelanjutan surat itu. Namun, sampai sekarang belum ada kabar dari gadis yang tinggal bersama Tuan Kafka.
Malam itu Melodi bertanya tentang ingatan pertama yang dimiliki seseorang. Pertanyaanya hampir sama dengan isi surat gadis itu. Katanya, ingatan pertama seseorang biasanya muncul waktu berumur tiga tahun, jarang sekali ada orang yang bisa mengingat sebelum itu.
“Aku pernah membaca kalau ingatan-ingatan awal manusia bukanlah gambaran tentang sesuatu secara rinci. Melainkan ingatan tentang konsep. Konsep tentang orang tua, konsep tentang sekolah, bagaimana menggunakan sendok, bagaimana melakukan ini, bagaimana melakukan itu, seperti itulah ingatan bekerja pada fase-fase awal kehidupan,” tutur Melodi.
Kupikir ingatan awal manusia memang sesuatu yang rumit, muncul sepotong-sepotong dan berwarna abu-abu, tidak ada korelasi antara ini dan itu, sama seperti kepingan puzzle yang tercerai berai. Kalau kepingannya tidak disatukan, maka gambar yang muncul pun tidak jelas. Sayangnya, untuk menyatukan puzzle bernama ingatan itu dibutuhkan usaha yang luar biasa.
Setelah memutar beberapa lagu, Melodi mulai membacakan jawaban yang masuk.
Ingatan pertamaku adalah waktu aku berumur empat tahun, saat itu aku sedang bermain bersama kakak perempuanku di kamar. Tapi kemudian aku sadar kalau aku tidak memiliki kakak perempuan. Sampai sekarang aku masih mengingat wajahnya, tapi aku tidak tahu siapa yang bermain bersamaku waktu itu.
“Ingatan yang suram,” kata Melodi.
Aku tidak tahu, tapi kata ayahku aku pernah makan kecoak hidup-hidup waktu kecil, dan kalau aku mengingatnya hal itu rasanya pernah terjadi. Itu terjadi di kisaran umurku yang kelima.
“Itu sungguh menjijikan, aku pernah mendengar kalau kecoak memiliki rasa mirip seperti kulit ayam, tapi meskipun kecoak rasanya seperti kulit ayam paling enak sedunia, kalau itu kecoak aku tetap tidak mau memakannya,” kata Melodi.
“Ingatan masa kecil kalian tidak ada yang beres, ya?” komentar Melodi.
Sayangnya, siaran hari itu juga berakhir tanpa kelanjutan cerita tentang dari gadis yang tinggal bersama Tuan Kafka. “Tidak ada surat yang masuk. Ada sih, tapi tidak satupun yang berasal dari gadis itu. Bagaimanapun juga, tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu.”
Setelah siaran berakhir aku merenungi tentang ingatan pertamaku, aku memejamkan mata, lalu berusaha menyelam ke dalam lautan bernama masa lalu. Namun, semuanya gelap tidak terlihat apa-apa. Lebih tepatnya, tidak ada yang ingin kuingat.
***
Hari Selasa aku mendapat pekerjaan untuk menghitung volume lalu lintas. Pekerjaanya sederhana, cukup memasang cctv di jalan belakang kampus lalu menunggunya selama dua jam. Aku mendapat pekerjaan itu setelah menerima tawaran dari seniorku di kampus. Memang bayarannya tidak banyak karena ini hanyalah proyek tugas akhir, tapi karena sedang senggang - entah kenapa aku merasa sangat senggang, aku mengambil pekerjaan itu.
Hari itu aku bangun lebih awal dan mencukur kumis sampai habis. Setelah memberi makan tuan kucing aku pergi ke lokasi tanpa sempat sarapan terlebih dahulu. Aku mengeluarkan rompi hijau dan cctv dari dalam tas, lalu memasang cctv pada tiang listrik menggunakan selotip hitam berukuran besar. Kata seniorku tidak perlu dipasang terlalu tinggi, yang penting jalanan terlihat jelas dan tidak mudah diambil orang. Setelah memastikan semuanya beres dan aman, aku duduk di warung dekat situ dan memesan segelas kopi hitam.
Hanya butuh waktu satu jam sampai rasa bosan datang menyelimuti otak. Sedari tadi aku tidak melakukan apa-apa. Cuma duduk diam dan memperhatikan orang-orang yang melintas. Aku sempat mencoba membaca buku, tapi pikiranku tidak bisa fokus. Sebenarnya aku tak keberatan dengan rasa bosan, yang membuatku jengkel adalah, aku terpaksa menahan keinginanku pergi ke kamar kecil karena harus menjaga kamera cctv agar tidak dicuri.
“Kamu yang di kedai waktu itu, kan?”
Sekitar pukul sembilan seseorang tiba-tiba menghampiriku dan bertanya seperti itu. Aku mendongak dan setelah kuamati wajahnya baik-baik ternyata dia adalah Melodi.
"Tidak lupa denganku?"
Aku menggeleng, "Mana mungkin lupa dengan orang yang menangis di kedai malam-malam?”
"Aduh-aduh … kesan pertamaku jelek sekali, ya?" keluhnya sambil tertawa, lalu duduk dan memesan kopi susu.
Pagi itu Melodi menggunakan setelan kemeja putih lengan panjang dengan celana kain berwarna krem, dia membawa totebag kecil abu-abu yang tersampir di pundak kanannya. Gara-gara itu aku bertanya apakah dia baru saja selesai kelas? Ya, katanya.
“Selesai kelas ingin cari sarapan. Lalu dari kejauhan aku melihatmu. Tahu tidak? Rompi hijaumu sangat mencolok!” ujar Melodi tegas, “Hampir saja aku mengiramu sebagai tukang parkir, tapi setelah kuperhatikan betul-betul ternyata bukan. Memangnya apa sih yang kamu lakukan dengan pakaian seperti itu?”
Aku mengamati pakaianku, kemudian tersadar kalau memakai rompi hijau kebesaran seperti ini ternyata aneh juga.