Minggu pagi Ibu menelpon, karena belakangan ini teleponnya kuabaikan, pagi itu kuputuskan untuk menjawabnya. Seperti dugaanku, dia menggerutu karena aku tidak membalas pesan dan mengangkat telepon, setelah itu dia bertanya kabar dan beberapa hal remeh yang tidak begitu penting.
“Hari ini kamu ada kegiatan?”
“Aku mau pergi ke kota.”
“Ada perlu apa?” tanya Ibu.
“Ada barang yang ingin kubeli,” ucapku berbohong.
“Apa uangmu cukup?”
“Ya, tidak usah khawatir,” kataku.
Ibu sejenak terdiam, tapi aku bisa mendengar kalau dia sedang mengatur nafas. “Mengenai kado ... kenapa kamu mengembalikannya?”
“Kado?” aku berpikir sejenak, lalu teringat tentang kado yang diam-diam ku kembalikan waktu itu. Tidak ada alasan khusus, kubilang, “Aku cuma tidak bisa menerimanya. Lain kali Ibu tidak perlu repot seperti itu.”
“Begitu?” kata-kata Ibu terhenti di situ dan tak lama kemudian telepon berakhir.
***
Malam itu jam sudah menunjukan pukul sebelas saat Panca tahu-tahu mengetuk pintu kamarku.
“Apa aku mengganggumu?” tanya Panca.
Tentu saja, batinku. siapapun pasti akan terganggu kalau mendapat kunjungan selarut ini. Bahkan tuan kucing sampai terbangun walau setelahnya dia langsung tidur lagi.
Panca memasuki kamarku dengan wajah kusut dan lesu. Selama lima menit dia hanya diam di tepi jendela sambil menyulut sebatang marlboro merah.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Panca murung seperti ini. Setiap kali mendapat masalah Panca selalu datang ke tempatku, lalu merenung seperti itu tanpa bicara.
Kalau kuingat lagi, pertama kali kami bertemu waktu masih duduk di bangku SMP. Saat itu hampir semua anak di kelas sudah memiliki lingkaran pertemanannya masing-masing, dan menyandang status sebagai murid pindahan tentu membuat kehidupan sosialku sulit berkembang. Sejujurnya aku tak masalah dengan hal itu. Namun, pada suatu sore seorang anak laki-laki menghampiriku dan bertanya.