Sejak bertukar nomor telepon, aku dan Melodi semakin dekat. Sesekali kami bertemu usai kuliah lalu pergi makan siang bersama. Kalau ada waktu luang kami pergi minum teh atau berjalan-jalan mengitari kota untuk melepas penat. Kalau sedang bosan kadang aku dan Melodi juga pergi ke bioskop lalu menonton film.
Melodi bertanya film seperti apa yang aku suka. Tidak ada kriteria tertentu, kataku. Karena aku selalu menonton film secara acak. Gara-gara itu Melodi melakukan hal yang sama sampai akhirnya pilihan jatuh pada film bertemakan infeksi zombie.
Film itu benar-benar tolol dan dangkal. Judulnya Malam yang Panjang, bercerita tentang sebuah ledakan di tengah kota yang menyebabkan orang-orang berubah menjadi zombie. Meski premisnya sedikit menjanjikan, tapi ceritanya sangat payah.
Tokoh utamanya seorang anak SMA yang entah bagaimana ceritanya bisa membawa senjata api di dalam tas. Sepanjang film, dia dan teman perempuannya terus berlari menghindari serangan zombie sambil berteriak. Si perempuan yang terus-terusan berteriak membuat kupingku gerah.
Sebagian penonton memilih pergi atau tidur sepanjang film diputar. Sedangkan Melodi, meski dia masih menatap ke arah layar, tapi wajahnya tak menunjukan ekspresi apapun.
Sama seperti judulnya, film benar-benar panjang dan membosankan, di penghujung film si perempuan kakinya terluka dan tidak bisa berlari lagi. Dia meminta si tokoh utama untuk meninggalkannya. Sebelum pergi, perempuan itu bertanya.
“Kalau aku menjadi zombie apakah kau akan tetap mencintaiku.”
“Tentu saja,” kata si tokoh utama sambil memeluknya.
Sungguh film yang tidak masuk akal. Begitu lampu kembali menyala aku dan Melodi langsung keluar tanpa mampu berkata-kata.
“Aku tidak mau menonton film dengan cara seperti itu lagi,” keluh Melodi kesal. Gara-gara itu aku tertawa.
Akhir November cuaca semakin dingin. Aku sedang menggambar saat ponselku tiba-tiba berdering. Yang menelpon adalah Melodi. Ada urusan apa menelponku malam-malam begini aku tidak tahu.
“Sedang apa?” Begitu telepon kuangkat Melodi langsung bertanya tanpa basa-basi.
“Menggambar,” kataku.
“Kenapa menggambar?” Aku mengulangi pertanyaannya lalu bingung sendiri, apa yang salah dengan menggambar di malam hari? Menyadari kalau pertanyaannya kurang tepat Melodi kembali bertanya.
“Menggambar apa?”
“Rumah ... barangkali.”
“Barangkali?”
“Aku sedang ingin menggambar rumah, tapi tak mengerti rumah seperti apa yang harus ku gambar.”
“Hmm,” gumamnya.
Aku meletakan pensil, lalu memijat keningku selama beberapa saat.
“Selain menggambar apa ada hal lain yang harus kamu lakukan?”
Setelah menggambar aku akan cuci muka, sikat gigi, lalu pergi tidur. Kalau tidak bisa tidur paling aku membaca buku sampai mengantuk, atau mendengarkan siaran larut malam di radio, tapi itu bukan jawaban dari pertanyaannya.
“Tidak ada,” kataku.
“Aku sangat bosan, ingin pergi keluar, mau ikut?”
“Malam-malam begini?” tanyaku heran. Aku melirik jam di dinding, sudah lewat setengah sepuluh.
“Iyalah, kalau pagi tidak bisa, harus kuliah. Bagaimana? Mau tidak?”
Aku terdiam sejenak memikirkan ajakannya. Aku memang sedang menggambar, tapi saat ini otakku sedang buntu, rasanya seperti tersumbat oleh sesuatu yang kotor dan harus dibersihkan. Kalau sudah begini berusaha sekeras apapunsepertinya juga percuma. Kupikir jalan-jalan malam sejenak tidak ada salahnya, toh tidak ada hal lain yang harus kukerjakan. “Boleh,” kataku, dan setelah menentukan tempat bertemu telepon ditutup.
Kami sepakat bertemu di belakang kampus. Aku tiba terlebih dahulu, Melodi menyusul lima menit kemudian. Melodi memakai piyama yang dilapisi dengan jaket merah muda, penampilannya tampak seperti gadis yang baru saja bangun dari tidur panjang.
Melodi bertanya apakah ada tempat yang ingin kudatangi. Lalu kubilang kalau malam ini aku akan mengikutinya kemanapun dia pergi.
“Hmm … memang aku sangat bosan dan ingin keluar, tapi tidak tahu harus pergi kemana.”
Aduh-aduh, batinku. Tadinya aku sempat kepikiran mengajaknya pergi ke tempat Panca, tapi karena tidak ingin minum teh - lebih tepatnya tidak ingin bertemu Panca - maka kurungkan niat itu. Karena sama-sama bingung akhirnya aku mengusulkan untuk berjalan terlebih dahulu. Masalah tempat bisa dipikirkan nanti.
“Kamu ini selalu melakukan sesuatu secara acak, ya?”
“Maksudmu?”
“Nonton film secara acak, jalan-jalan tanpa tujuan. Hal-hal semacam itu maksudku, tidak jelas apa yang kamu cari, tidak jelas apa yang kamu inginkan.”
“Mungkin,” kataku.
“Aku bilang begini bukan karena keberatan. Tak, masalah, kok! Ayo kita pakai caramu malam ini.”
Kami berdua berjalan ke arah selatan, menyusuri trotoar yang sepi, lalu sedikit masuk ke perkampungan. Melodi berjalan di depan, sementara aku mengikutinya dua-tiga langkah dari belakang. Aku dan Melodi benar-benar berjalan sesuka hati, kalau ingin belok kanan kami belok kanan, kalau ingin belok kiri kami belok kiri.
“Kamu sering berjalan-jalan seperti ini?”
Melodi memperkecil langkahnya, lalu berjalan di sampingku, “Tidak sering, kebetulan saja sedang bosan. Lagipula aku takut.”
“Takut?”
“Minggu lalu temanku kehilangan dompetnya waktu jalan sendirian. Akhir-akhir ini banyak orang jahat. Untuk itulah aku mengajakmu.”