Tempurung Kaca

Panca Lotus
Chapter #11

BAB IX - Kabar dari Kampung Halaman (Bagian 1)

Minggu pertama di Bulan Desember Ibu menelpon. Karena sedang di kampus aku tidak ingin menjawabnya. Berkali-kali Ibu menelponku dan akhirnya kuputuskan untuk mematikan ponsel. 

Hari itu aku ada janji makan siang dengan Melodi. Setelah kelas aku pergi ke Fakultas Psikologi, lalu menunggunya di depan gedung utama. 

Aku dan Melodi menyusuri boulevard hingga sampai ke gerbang depan. Dari situ kami menuju halte, lalu naik bis selama lima belas menit. 

"Tidak ada kelas setelah ini?"

"Tidak, tapi setelah ini ada kerja kelompok. Bagaimana denganmu?"

"Ada kelas, tapi ingin tidur siang," jawabku.

Kami turun di dekat stasiun, kemudian pergi ke warung mie yang letaknya sedikit masuk ke perkampungan. Di situ sunyi dan menenangkan. Penjualnya seorang nenek berusia lima puluhan tahun beserta cucunya yang pendiam. Aku dan Melodi memesan satu porsi mie berukuran sedang, lalu duduk di meja dekat pintu.

"Kalau soal makanan kamu orangnya pilih-pilih, ya?"

Aku mengangguk sambil tersenyum, "Masalah perut tidak bisa disepelekan."

Pesanan diantarkan lalu kami makan dengan tenang. Melodi bilang kalau makanannya enak, mienya lembut, empuk, dan kuahnya dimasak dengan pas. Gara-gara itu dia jadi teringat akan kampung halaman.

"Memangnya kamu berasal dari mana?"

“Kota kecil di pesisir utara,” jawabnya. “Aku bilang namanya kamu pasti tidak tahu. Kota itu sangat kecil, tidak ada supermarket, tidak ada bioskop, apalagi restoran mewah. Setiap hari udaranya sangat kering, tapi sekalinya hujan bisa sampai seharian. Dan meskipun di daerah pesisir, pantainya jelek-jelek. Pokoknya kota yang menyedihkan, deh.”

“Karena itu kamu kuliah di sini?”

“Tentu saja, tidak ada yang mau mati dan membusuk di kota itu.”

“Ah, bercanda kamu.”

“Sungguh,” ucap Melodi dengan wajah serius. “Satu-satunya hal baik hanyalah warung mie di dekat rumah. Rasanya mirip sekali dengan tempat ini. Kuahnya pas, dan seperti kuah mie betulan, bukan air yang diberi garam. Gara-gara itu aku sedikit rindu.”

***

Karena seharian ponsel kumatikan, sepulang sekolah Paman menelpon.

“Kau tahu berapa kali aku menelponmu seharian ini?” ucap Paman dengan nada kesal, kenapa dia kesal aku sungguh tak paham.

Aku mengatakan kalau seharian berada di kampus, karena jadwalku padat jadi tidak bisa mengangkat telepon.

“Yang benar saja," cibir Paman, "Kau pikir aku tidak tahu kebiasaanmu?”

 “Kenapa tiba-tiba menelpon?”

Paman tak langsung membalas. Dari seberang telepon terdengar suaranya sedang mengatur nafasnya, lalu kembali bicara dengan nada yang lebih tenang.

“Dengarkan baik-baik. Sesuatu terjadi pada Ibumu. Saat ini aku sedang kesal dan tidak bisa cerita banyak. Aku juga berpikir tidak tepat kalau membicarakan hal semacam ini lewat telepon.”

“Apa yang terjadi?” Aku berusaha menyela tapi Paman mengabaikan.

Lihat selengkapnya