Rumah sungguh berantakan seolah menyimpan kesedihan yang kelam. Pakaian kotor berserakan di mana-mana, beberapa celana dalam bahkan tersampir begitu saja di sofa. Kaleng bekas minuman, cup mie instan, piring kotor dan beberapa bir tergeletak di lantai dapur. Tidak mungkin ada orang yang percaya kalau perempuan empat puluh tahun tinggal di sini.
Aku memutuskan untuk beres-beres sejenak. Semua pakain kotor kumasukan ke dalam keranjang, tadinya ingin langsung kucuci, tapi kuurungkan niatku karena lelah. Akhirnya aku hanya mencuci semua piring kotor, noda yang menempel berhari-hari membuat piring itu harus dicuci dengan tenaga ekstra. Aku memungut semua sampah yang berserakan, lalu memasukannya ke dalam kantong plastik besar. Setelah beres-beres aku mandi dan membersihkan diri.
Aku membuka kulkas, hanya ada telur, air putih, dan beberapa tomat yang mulai membusuk. Perutku sangat lapar, tapi aku tidak memiliki nafsu makan. Setelah minum air putih aku berbaring di sofa menatap langit-langit.
Lampu kumatikan, aku berusaha tidur. Aku sungguh tidak ingin memikirkan apapun, cerita Paman barusan menimbulkan sebuah lubang kecil di dalam diriku. Aku ingin rileks dan beristirahat dengan tenang. Namun, kondisi rumah yang sunyi memaksaku memikirkan banyak hal sampai membuat kepalaku sakit. Karena itu kunyalakan televisi, mengaturnya ke volume tertentu, lalu kembali memejamkan mata.
Keesokan paginya aku memasukan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Sambil mencuci aku memanaskan air untuk menyeduh teh.
Paman menelponku, katanya dia harus pergi selama tiga hari karena urusan pekerjaan. Aku diminta menjaga Ibu selama dia tidak di sini. Pukul sepuluh aku kembali ke rumah sakit. Begitu dokter datang aku diminta menunggu di luar.
“Masa-masa kritisnya sudah lewat, tapi kondisinya belum membaik,” begitulah kesimpulan yang kudapat dari penjelasan dokter.
Aku memandangi Ibu sekali lagi.
“Kuliahku biasa saja,” Tahu-tahu aku kepikiran untuk mengajaknya bicara. “Aku bilang biasa saja karena memang biasa saja, tidak ada hal baik maupun buruk yang bisa kuceritakan. Dua minggu lagi ada ujian akhir semester, dan aku belum siap untuk itu.” Kupikir dengan bercerita begini aku bisa membangkitkan sesuatu di dalam diri Ibu, membuat syaraf otaknya kembali bekerja, atau membangunkannya dari tidur siang yang panjang.
“Tahukah Ibu? kupikir aku menyukai seseorang. Namanya Melodi, seorang penyiar di radio kampus. Dia cantik, meskipun sedikit aneh tapi pikirannya sangat luas. Kalau sedang senggang kami sering makan siang bersama, atau jalan-jalan mengitari kota. Ini pertama kalinya aku menyukai seseorang. Jadi tidak tahu bagaimana harus mengatakannya.”
Aku bercerita tentang Melodi karena cuma dia yang terbayang di kepalaku. Aku bercerita dengan nada yang lirih tapi Ibu tak merespon, hingga akhirnya aku lelah dan memutuskan duduk di sofa.
“Bagaimanapun juga kakakku selalu mengalami kemalangan sejak kecil.” Siang yang hening membuatku memikirkan kata-kata Paman.