Keesokan harinya kondisi Ibu masih belum membaik. Namun, hari itu beberapa rekan kerjanya dari kantor penerbitan datang untuk menjenguk. Sebagian dari mereka menunggu di luar, dan sebagiannya lagi masuk ke dalam secara bergantian.
Selama menjenguk mereka terus melempar pertanyaan yang sama. Bagaimana keadaan Ibuku, bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi, dan aku menjelaskan garis besarnya. Mendengar ceritaku, semua orang coba memasang wajah sedih.
Aku sempat berkenalan dengan pemimpin redaksi dari kantor tempat Ibu bekerja. Dia adalah orang yang dibicarakan Paman.
“Ibumu sangat bisa diandalkan, dia orang yang teliti dan pekerja keras. Bisa dikatakan, kualitas majalah kami sangat meningkat sejak Ibumu menjabat sebagai Kepala Editor. Aku sangat sedih melihat kondisinya saat ini. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku berharap kondisinya segera membaik.”
“Terima kasih, saya menghargai doa anda,” balasku.
Sebelum pergi, si pemimpin redaksi memberikan kartu namanya padaku. “Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan hubungi nomor itu.” Aku menerima kartu itu, dan setelah dia pergi aku membuangnya ke tempat sampah.
Sekitar satu jam setelahnya seseorang kembali berkunjung. Dia seorang laki-laki, mengenakan kemeja pendek berwarna abu-abu serta celana katun hitam yang sedikit longgar. Umurnya mungkin sekitar lima puluh tahun. Kulitnya mulai mengeriput, berkacamata, dan mengenakan topi flat cap berwarna krem untuk menutupi kepalanya yang botak. Di wajahnya-dari hidung sampai pipi sebelah kiri-terdapat bekas luka seperti disayat oleh sesuatu yang tajam. Awalnya aku merasa asing, tapi setelah melihat luka itu aku baru sadar kalau dia adalah Paman Tora.
Paman Tora datang setelah mendengar kabar kalau Ibu kecelakaan, darimana dia mendapat kabar itu aku sama sekali tidak tahu. Seperti tamu-tamu sebelumnya, dia bertanya mengenai kondisi Ibuku, lalu kujelaskan sewajarnya. Awalnya selalu ada perasaan mengganjal setiap kali aku menceritakan kondisi Ibu, tapi karena sudah keseringan bercerita, lama-kelamaan aku tak merasakan apapun.
Setelah menjenguk Ibu Paman Tora bertanya apakah aku punya waktu luang atau tidak. Kukatakan padanya kalau aku harus menjaga Ibu. Namun, karena Paman Tora bilang ada hal penting yang ingin dibicarakan - dan itu ada sangkut pautnya dengan Panca, aku mengajaknya pergi ke kantin rumah sakit.
Kantin ramai seperti biasa, karena masih tak nafsu makan aku hanya membeli sekaleng coca-cola.
“Kau baik-baik saja?”
“Apa yang ingin anda bicarakan?” timpalku tanpa basa-basi. Setelah apa yang dia lakukan terhadap Panca, aku juga enggan memanggilnya dengan sebutan Paman atau semacamnya.
“Mengenai Panca, apa dia sehat?”
“Sehat,” kataku, “Dia makan dengan teratur, dan mungkin akan lulus cepat. Anda tidak perlu khawatir.”
“Syukurlah,” ucap Paman Tora. “Terakhir kali mengunjunginya, dia memukulku. Rasanya sakit sekali. Dia tumbuh menjadi laki-laki yang kuat, persis seperti yang diharapkan Ibunya. Kadang kalau memejamkan mata aku masih bisa merasakan rasa sakit itu.”