Kota itu tak pernah menyapaku dengan riuh.
Ia menatapku dari kejauhan, seperti seseorang yang tahu aku akan jatuh cinta, tapi tak pernah berniat memperingatkan.
Langitnya selalu mendung di pagi hari, tapi entah kenapa hatiku justru cerah saat pertama kali menapakkan kaki di sana.
Setiap sudutnya menyimpan bisikan pelan, seolah berkata, “Hati-hati. Di sini, banyak orang pernah patah, dan tetap tinggal.” Aku menatap jalanan basah selepas hujan, dan sepasang kura-kura kecil tiba-tiba muncul di pikiranku makhluk lambat, pemalu, tapi setia membawa rumahnya ke mana pun ia pergi.
Mungkin seperti aku. Membawa rumah yang bernama rindu, berpindah-pindah tempat, tapi tak pernah benar-benar pergi darimu. Di kota ini, aku belajar bahwa yang manis tak selalu berarti bahagia. Kadang hanya kamuflase dari getir yang tertunda. Dan kau hadir di antara itu semua, di antara detak jam, langkah kaki, dan tatap mata yang tak sengaja kutangkap.
Jika cinta adalah buku, maka kau adalah bab pertamanya. Dan aku, pembaca setia yang tak pernah siap sampai ke halaman terakhir.