Aku pernah percaya bahwa rumah adalah tempat kita kembali.
Tapi sejak mengenalmu, aku tahu: rumah bisa hadir dalam bentuk senyuman. Bukan bangunan, bukan alamat hanya sepasang bibir yang melengkung pelan, cukup untuk menenangkan badai dalam dadaku. Senyummu tidak meledak. Ia tidak menuntut perhatian. Tapi justru di situlah kekuatannya.
Ia menyentuh pelan, seperti embun di pagi hari yang tidak kita sadari membasahi.Kau tidak tahu, tapi setiap kali kau tersenyum, ada sesuatu yang mencair dalam diriku.
Dinding-dinding yang kubangun bertahun-tahun runtuh tanpa bunyi. Ketakutan yang kuletakkan di sudut paling gelap hati mulai memberi ruang pada harapan. Aku tidak tahu kenapa kau tersenyum seperti itu. seolah dunia tidak pernah menyakitimu. Atau mungkin, kau justru tahu rasanya sakit, dan memilih untuk menyembuhkan dengan cara paling sederhana: menjadi hangat bagi yang lain. Ada hari-hari ketika aku tak ingin pulang ke mana pun, kecuali ke arah senyummu. Karena di sana, aku menemukan versi diriku yang utuh.
Yang tidak pura-pura kuat, yang tidak terus- menerus berlari. Yang hanya ingin diam… dan merasa cukup.