***
“Apa yang kamu lakukan di tebing ini? Menyesali takdir? Mengakhiri hidup?”
Suara serak yang familiar itu membuatku menoleh. Di sana pria tinggi itu hadir dengan jaket tebal yang membalut tubuh. Wajahnya sedikit masam dan di tangannya terdapat dua kantong plastik yang aku yakini berisi makanan dan minuman.
Angin tipis berhembus saat tubuhnya duduk tak jauh dariku. “Semua sudah berlalu, tidak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi! Berhenti membuang energimu untuk hal seperti itu!”
Suaranya menggema membuatku muak. Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, aku sendiri tahu itu. Hanya saja, rasa rindu yang kian menggunung itu mengoyakkan kalbu.
“Aku tidak pernah menyesali masa lalu. Aku menerima takdir yang sudah ditentukan untukku!”
Pria itu hanya mendengus. Wajah mengejeknya membuatku kesal, meski begitu sosoknya selalu hadir saat kesedihan memeluk jiwaku.
“Kematian adalah hal yang mutlak. Tidak ada yang bisa melawannya.”
Angin berhembus, membawa aroma harum yang terasa familiar. Tebing yang menjadi tempat kami bertemu kembali hening. Warna senja yang menghiasi kanvas langit sedikit banyak berhasil mengusir kegelisahan.