***
Aku terbangun dengan wajah yang basah oleh air mata. Pandanganku tertuju pada langit-langit kamar yang remang. Tanganku terkepal erat, menahan segala rasa yang bergejolak di dada.
Pagi mulai datang bersamaan gema panggilan adzan yang menggema. Aku bangkit berdiri, memandang pantulan diri di cermin, mata yang sedikit bengkak dan air mata yang masih mengalir membuat pandanganku sedikit kabur.
Hidup dengan bahagia? Bisakah hal itu terjadi? batinku membasuh wajah dengan air.
Cahaya matahari perlahan memasuki ruangan, aku hanya diam di tempat tidur. Melirik ponsel yang berbunyi menandakan beberapa pesan masuk. Tanpa melihat pun aku langsung tahu siapa yang mengirim pesan tersebut.
Hanya ada satu orang yang selalu sibuk mengirimkan pesan kepadaku setiap pagi. Jika aku tidak menjawab, maka pesan itu akan berganti menjadi panggilan telepon dan benar saja sekarang notifikasi ponselku menampilkan panggilan dari seseorang.
Aku beranjak berdiri, membuka tirai yang menutupi jendela. Membiarkan cahaya masuk sepenuhnya ke dalam ruangan. Mensyukuri setiap nikmat yang diberikan sang Pencipta. Ponselku terus berdering dan tampaknya si penelpon semakin tidak sabar untuk mendengar suaraku.
Aku melangkah keluar kamar, mengunci pintu kamar kos dan menuruni anak tangga menuju lantai satu. Setiap langkah terasa berat, karena tujuanku saat ini adalah tempat yang menjadi luka sekaligus pelipur lara.
“Kenapa tidak menjawab panggilanku?”