Sepuluh juta rupiah... Keren. Hadiah yang akan didapatkan Zul dari lomba penulisan novel anak. Ia merasa senang dan tenang. Senang karena ini adalah lomba yang pertama kali ia menangkan di penulisan novel anak. Tenang karena kini dia mempunyai uang saku untuk bekal berangkat haji.
Zul pun datang ke acara pemberian hadiah di kantor Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kemenag. Di sana dia mendapatkan piagam dan uang tunai yang diberikan Kepala Litbang. Rasa senang dan bangga menyelimuti hatinya. Zul kaget karena ada beberapa wartawan yang dikenalnya meliput acara itu, siapa lagi kalau bukan Cak Kandar dan Junaedi.
Sepertinya dua orang kuli tinta itu kurang suka dia menjadi juara, sentimen mereka terlalu membabi buta sehingga tidak mau melihat kelebihan yang ada pada diri orang lain. Begitulah para pembenci, mereka terlalu fokus membenci sesuatu meski yang dibencinya itu mempunyai kebaikan atau prestasi. Orang kekinian bilang mereka belum ”move on”.
Zul tak mau terbawa emosi mereka, ia berusaha bersikap wajar dan tidak merasa tidak ada masalah. Namun senyumannya ketika akan pulang kepada dua wartawan senior itu tak mendapat jawaban yang ramah. Mereka malah melengos dan cuek. Aneh memang dunia ini.
Sesampai di Kos, pikiran pertamanya adalah menebus emas di pegadaian. Di kantor dia bertemu dengan Bondi. Lelaki gempal itu menceritakan kalau paranormal di Pamulang itu sekarang ditahan polisi.
”Nyi Sukesi ditahan polisi karena melakukan penipuan, semua asetnya disita polisi.” ujar Bondi.
”Maafkan aku Zul, aku nggak tahu dia akan dipenjara...” ujar Bondi.
”Ya aku juga merasa heran dengan ramalannya...” kata Zul.
”Memang begitulah kerjanya peramal, sebenarnya semua sama saja,” tiba –tiba Bondi keceplosan.
”Maksud kamu, peramal itu ....”tanya Zul.
”Yaaa katanya akan tirakat padahal dia tidak melakukan apa-apa. Kalau ada yang sama dengan ramalannya itu sebenarnya hanya kebetulan saja, ” jelas Bondi.
”Mengapa kamu mengajakku kemari, ?” tanya Zul.
Bondi diam sebentar.
”Aku mendapat fee jika mengajak orang ke sana.” jawab Bondi.
Zul menggelengkan kepalanya. Ia merasa kecewa dengan teman kerjanya yang rela menipunya. Lalu Zul menaruh uang Rp 50 ribu ke saku Bondi.
”Ini buat beli makan, ” katanya sambil berlalu.
Untuk kedua kalinya Zul merasa ditipu oleh Bondi. Tapi Zul tidak terlalu kecewa karena dia yakin akan mendapat gantinya. Keyakinannya sangat kuat, sehingga ia selalu bersemangat mengejar impiannya.
***
Petugas haji berkumpul menjelang keberangkatan ke tanah suci. Sehari sebelumnya Zul bersama para petugas haji lainnya menginap di asrama haji Pondok Gede, Jakarta Timur. Sore itu, kakaknya datang bersama suami dan keponakannya. Itulah satu-satunya saudaranya di Jakarta, karena keluarga besarnya tinggal di Jawa. Kakaknya minta didoakan agar menjadi orang yang pandai bersyukur. Kata orang berdoa di Mekah itu tempat yang mustajab sehingga doanya bisa terkabul.
Sepulang kakaknya, Zul heran, kenapa sang kakak minta hanya menjadi orang yang bersyukur, permintaan yang klise. Padahal setiap bulan hidup mereka pas-pasan. Doa yang harus diminta menurut Zul adalah rezeki yang mengalir dan barokah sehingga kehidupannya lebih sejahtera.
Namun setelah Zul merenung, dia teringat sebuah ayat dalam kita suci ” La in syakratum la azi danakumm wa lain kafarkum inna azabii lasysdid” yang artinya ”Barang siapa bersyukur pada Ku maka akan Aku tambah nikma Ku dan barang sapiapa kufur, maka sesuangguhnya azabKu amat pedih”
Zul sadar, dengan mensyukuri nikmat yang ada, maka Tuhan akan menambah kenikmatan, termasuk dalam hal rezeki. Namun sesampainya di Mekah, dia tetap akan menambahkan doa agar rezeki kakaknya dilancarkan.
Malam itu mungkin menjadi malam terakhir Zul berada di tanah air karena besok siang semua petugas haji non kloter sudah berangkat ke bandara Soekarno Hatta untuk penerbangan ke Jeddah. Setelah shalat Isya Zul masih dzikir dan doa di masjid Pondok Gede. Sampai jam 9 malam, masih ada orang yang lalu lalang untuk shalat dan berdzikir. Namun pada jam 10 malam suasana mulai sepi dan Zul masih larut dalam menyebut nama-nama suci Tuhan. Dalam keheningan temaram bulan purnama itu Zul teringat ibunya yang telah meninggal dunia. Sementara ayahnya sudah tiada semenjak ia lahir. Satu-satunya saudara hanya kakak perempuannya.
Zul memang bocah ajaib. Dia pernah mengira bakalan meninggal di usia muda. Ceritanya ia pernah mengalami kecelakaan yang tragis ketika masih kuliah di Semarang. Waktu itu, ia bersepeda motor ketika hendak menyeberang jalan tiba-tiba dari tikungan sebuah mobil melaju kencang. Mobil yang dikemudikan seorang pelajar itu menghantam keras sehingga dia masuk ke dalam kolong mobil terseret sejauh 50 meter. Sepeda motornya rusak berat. Zul mengira dirinya telah meninggal menyusul ayahandanya. Namun takdir berkata lain, setelah siuman Zul masih sehat dan tulangnya utuh. Ibunya pun datang dari Solo ke Semarang, menangis sesenggukan di rumah sakit. Sebuah peristiwa yang menunjukan kebesaran Tuhan seru sekalian alam. Itulah momen Zul melihat ibunya menangis selama hidupnya.
Tetiba sebuah tangan menepuk bahunya membuatnya terkejut.
”Assalamualaikum ” sapanya.
”Walaikum salam Kek” Zul kaget darimana kemunculan si kakek.
Ia pun mencium tangannya. Zul kemudian menceritakan mimpinya. Dia berharap si kakek dapat menakwilkannya.
”Hmmm. Mimpimu adalah legenda pribadimu, apakah kamu mau mengikutinya atau membiarkannya berlalu begitu saja,” tanya kakek