Temuiku di Surga

Dudun Parwanto
Chapter #18

Pudarnya Sebuah Asa

Hari itu Zalwa libur bertugas di Bandara. Dia berisitirahat di Wisma haji di Azziziah Jeddah. Beberapa petugas medis yang tergabung dalam tim kesehatan haji (Tim Kesehatan Haji Indonesia, atau TKHI) juga menginap di Wisma Haji Jeddah untuk menyediakan layanan kesehatan dasar bagi jamaah yang membutuhkan. Wisma ini menyediakan fasilitas dasar seperti tempat tidur, ruang makan, ruang ibadah, dan layanan kesehatan. Meski sederhana, fasilitas tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan transit jamaah dalam waktu singkat.

Petugas haji yang menginap di Wisma Haji Jeddah biasanya mendapatkan fasilitas akomodasi yang sama dengan jamaah haji, meski ada kemungkinan mereka memiliki area khusus untuk bekerja dan beristirahat. Mereka berada di sana selama musim haji untuk memastikan seluruh proses transit dan keberangkatan jamaah berjalan lancar.

Telepon genggam Zalwa berdering nyaring, mengganggu tidurnya. Dengan mata yang masih berat, dia meraba-raba untuk menjawab panggilan itu.

"Assalamualaikum, Zalwa ini Pak Cik Atok dari Malaysia," terdengar suara di seberang. Zalwa langsung terjaga mendengar suara itu, tahu bahwa ini adalah panggilan yang ditunggunya.

"Waalaikumsalam, Pak Cik. Gimana kabarnya Pak Cik?" jawab Zalwa, berusaha menyesuaikan suaranya yang masih serak.

"Alhamdulillah, Zalwa, saya baik-baik saja. Bagaimana kabar kamu?" tanya Pak Cik.

" Sehat Pak Cik, alhamdulillah," balas Zalwa dengan nada hormat.

Pak Cik Atok tidak berlama-lama berbasa-basi.

"Saya sudah mencari informasi mengenai Badawi. Saya ada kenalan, namanya Pak Nuh. Dia supleyer alat kesehatan di Rumah Sakit Penang. Dulu ada dokter di sana namanya Ahmad Badawi," cerita Pak Cik.

Zalwa mendengarkan dengan antusias. "Oh ya? Terus gimana Pak Cik?"

Pak Cik Atok melanjutkan, "Apa Badawi yang dimaksud orangnya kuning, pakai kacamata, kumis tipis, dan ada tahi lalat di kening?"

Zalwa langsung mengonfirmasi. "Iya, benar Pak Cik. Itu dia. Terus bagaimana?"

Pak Cik menghela napas sebelum melanjutkan, "Zalwa, jangan sedih ya... Badawi sudah menikah, istrinya dua."

Zalwa terdiam. Hatinya seperti ditikam. Mendengar kabar itu membuat dadanya sesak. Badawi memang tidak pernah berkomitmen apapun padanya, namun dia adalah satu-satunya pria yang pernah mencuri hatinya. Sekarang, kenyataan pahit itu membuat Zalwa merasa dikhianati, meskipun Badawi tidak pernah memberikan janji.

Perasaan Zalwa bercampur aduk. Ada rindu, benci, marah, dan kasihan, semuanya berbaur menjadi satu. Meski begitu, setidaknya kabar ini memberinya penutup atas harapan yang sempat dia simpan. Kini, dia memutuskan untuk melupakan Badawi dan membuka lembaran baru dalam hidupnya.

****


Pagi cerah menyelimuti Jeddah. Zalwa sedang menikmati sarapan sendirian di wisma haji Jeddah. Menu prasmanan yang selalu tersaji di sana cukup menggugah selera, namun Zalwa tidak terlalu memperhatikan makanannya kali ini. Pikirannya melayang jauh, mencoba meresapi kabar tentang Badawi.

Di saat yang sama, Faisal, pria Mesir menyempatkan diri mengunjungi Zalwa, muncul mengenakan baju koko khas Mesir. Ia menghampiri Zalwa, senyumnya tidak pernah lepas dari wajahnya.

"Kaifa haluki ya tobin jamilah?" sapanya dengan nada menggoda, seolah dia tahu Zalwa membutuhkan penghiburan.

"Khoir, ya tholiib min Misri," jawab Zalwa tersenyum kecil, meski hatinya masih sedikit terbebani.

Faisal tertawa. "Barakallahu ya humairah," ucapnya sambil memuji kecantikan Zalwa.

"Sukron ya ustad," jawab Zalwa sopan.

Faisal tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Wah, Zalwa, bahasa Arabmu sudah semakin lancar."

"Ah, pelajaran belum selesai kan?" tanya Zalwa sambil menahan senyum.

"Masih banyak. Kalau perlu kita lanjutkan nanti," balas Faisal santai.

Lihat selengkapnya