Kedua mata Mora dan pelipisnya terasa ngilu saat berusaha menyesuaikan penglihatan di keremangan cahaya. Setelah beberapa detik, ia mulai bisa melihat samar apa yang ada di hadapannya. Kedua kelopak mata gadis itu seperti ditarik dari atas dan bawah. Seolah memaksanya untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi di depan sana.
Oh, tidak lagi! Jangan sekarang! Keluh Mora dalam hati dengan perasaan merosot. Gadis itu merasakan sekujur tubuh menegang dan terasa kaku seperti ada yang membekukan setiap inci otot-ototnya. Ia ingin sekali berbalik dan lari secepat mungkin. Tapi seperti yang sudah-sudah, percuma saja mencoba menggerakkan badan atau bahkan berbicara. Bibirnya yang gemetar membuka sedikit, tapi tidak ada suara keluar dari kerongkongan. Udara terasa tipis membuat tarikan napas seperti tertahan dan membuat dada sesak.
Kali ini apa yang dilihat Mora merupakan sesuatu yang baru. Bukan pengulangan potongan kejadian seperti sebelumnya. Tapi tetap saja sosok yang dilihatnya sama – seorang pemuda dan gadis kecil.
Adegan yang terpampang di hadapan Mora sekarang adalah si gadis kecil sudah tak bergerak dengan posisi bersandar di tembok. Kepala gadis kecil itu terkulai menunduk. Sementara si pemuda sibuk menyusun satu demi satu batu bata merah di atas lapisan semen tepat di depan tubuh gadis kecil tadi hingga mencapai ke eternit. Jadilah sebuah tembok baru yang melapisi tembok sebelumnya. Ada tubuh si gadis kecil tersembunyi diantara kedua tembok tersebut.
Telinga Mora mendengar suara lirih itu lagi. Suara yang selalu membuatnya terbangun dengan napas memburu dan keringat dingin membanjiri tubuh. Suara yang Mora duga adalah milik si gadis kecil. ‘Temukan aku!’ kata suara tersebut.
Napas Mora masih belum stabil. Kedua matanya basah dan tubuhnya gemetar. Beberapa detik kemudian pandangannya menjadi jelas. Ia melihat ketiga sahabatnya – Aya, Naomi dan Kanala yang memperhatikan wajah Mora dengan raut wajah bercampur antara iba, khawatir dan penasaran.
“Lo ngimpiin itu lagi?” Naomi membuka suara. Ia melipat kedua tangan di meja dan mencondongkan tubuhnya ke arah Mora. Keningnya berkerut dengan mata lamat-lamat menatap Mora.
Mora menenggak habis air di gelas bening yang tampak bergetar di genggaman tangannya. Ia menaruh kembali gelas kosong di meja dan mengangguk-angguk cepat kepada Naomi. Kedua bahu Mora masih naik turun dengan tidak stabil.
“Lagi? Di sini?” kepala Aya mengitari sekeliling mereka yang ramai. Suara obrolan dan tawa menghiasi atmosfer sore yang teduh. Wajahnya tampak takjub bercampur heran begitu pandangan matanya kembali kepada wajah Mora yang masih pucat.
“Padahal cuma kepulesan beberapa menit kan tadi,” tukas Kanala sambil mengalihkan mata dari layar laptop kepada Mora.
“Lah, emang kudu tidur berapa menit biar bisa pules dan mimpi?” tanya Mora dengan suara lemah dan pelan. Ia merasa seluruh energi tubuhnya terkuras habis. Selalu begitu setelah ia bermimpi hal yang sama selama lebih dari satu tahun belakangan ini.
“Yaa, enggak gitu juga, La. Beda-beda tiap orang. Kayak Nobita misalnya yang bisa langsung pules pas kepala nemplok di bantal. Sementara ada orang lain yang mesti bolak balik guling-gulingan di kasur sampe dua jam baru bisa pules tidur,” tutur Naomi.
Kanala tertawa pendek. “Itu mau tidur apa bikin ayam tepung super krispi sampe dua jam guling-gulingan di kasur.”
“Ah, itu mah ritual Nao kalo mau tidur. Ampe kadang gelinding keluar kamar ke lantai satu terus balik lagi ke kasur,” ledek Aya yang dibalas dengan monyongan bibir ke arahnya oleh Naomi.
“Terus tadi kayak gimana lagi mimpinya? Adegan yang sama? Lo liat muka si cowok itu enggak?” tanya Naomi lagi. Nada antusias sedikit terdengar di suaranya. Kedua bola matanya tampak membesar menatap kepala Mora yang menelungkup di atas meja.
Mora geleng-geleng pelan. Sedetik kemudian ia sontak menegakkan punggung dan kepala dengan suara tarikan napas yang aneh. Mata Mora tampak kemerahan dan terbelalak bergantian menatap ketiga temannya.
Naomi terperanjat dan spontan menjauhkan tubuh dari meja. Sementara Aya yang sedang menyeruput minuman, otomatis batuk-batuk karena tersedak kaget melihat ekspresi Mora. Kanala langsung merapal doa sambil kedua tangan menangkup dada, dipikirnya Mora kesurupan atau semacam itu.
“Nah, itu dia,” pekik Mora agak kencang membuat beberapa orang menoleh atau melirik ke arah meja mereka dengan tatapan aneh. Mora mencondongkan tubuh dan kepala merapat ke meja sembari menatap ketiga temannya lamat-lamat bergantian. Bibir Mora membuka bersiap untuk berkata-kata. Naomi, Aya dan Kanala langsung mengikuti gerakan Mora. Kepala mereka berempat berdekatan di tengah meja.
“Tadi gue cuma lihat kalau cowok itu rambutnya keriting dan agak gondrong,” tutur Mora. Lalu tatapannya terpaku sejenak ke permukaan meja beberapa detik, mencoba mengingat-ingat lagi potongan kejadian yang tadi dimimpikannya. “Tapi posisi si cowok itu munggungin gue. Jadi enggak bisa lihat mukanya,” lanjut Mora dengan nada sesal.