Temukan Aku!

Rexa Strudel
Chapter #2

#2

“Gue masih nggak percaya kalo wikenan gini gue bakal ikutan acara asah nyali,” gumam Naomi dengan tatapan kosong ke gelas tinggi bening. Jemarinya memainkan es batu yang masih tersisa di dasar gelas dengan sedotan. Kepala yang miring ditumpu sebelah tangan lain di atas meja membuat gelungan rambut hitam sebahunya jadi longgar.

Naomi dan Aya sudah duluan nangkring di kafe langganan sejak pukul sepuluh pagi. Tempat tinggal mereka berdua cukup dekat dengan kafe ini. Aya bosan rebahan di kamar kos. Sementara Naomi kelaparan dan iseng karena semua orang di rumah pergi sepedahan ke taman kota sejak pukul enam pagi.

“Kemarenan lo kayaknya antusias banget sama mimpinya Mora,” Aya mengeluarkan sisir berbentuk sikat lebar dari dalam ransel kecil dan mulai merapikan rambut ikal tebal sepunggung yang dicat dengan warna coklat tua. Wajah bentuk persegi dengan kulit putih bersihnya tampak dipoles dengan riasan ringan.

“Yaah, antusias denger cerita soal potongan mimpi aja sebenernya,” sahut Naomi sambil menghela napas.

“Nggak apa-apa kok kalo lo mau pulang aja abis ini. Kan kasian juga nanti kalo lo malah jadi trauma atau takut berlebih setelah ikut kita-kita,” ujar Aya tulus.

Naomi bergumam tidak jelas. Pikirannya menimbang apa ia akan pulang ke rumah dan menghabiskan akhir pekan dengan kegiatan biasa yang monoton. Atau lebih baik jika ia ikut bersama teman-temannya melakukan hal yang aneh tapi nyata sekaligus luar biasa jika dibandingkan dengan rebahan menonton drama korea seharian.

“Noh, baru pada nongol seleb kita. Udah satu setengah jam di sini, gue ama Nao ampe mati gaya keabisan bahan ghibah,” ledek Aya saat melihat Kanala dan Mora melangkah ke teras kafe dan menghampiri meja mereka.

“Maap, maap. Mbak Kanala ini, lho, mesti ngaduk-ngaduk lemari serumah buat nyari parka kesayangan yang ternyata raib dipakai sang adik buat ke bioskop,” tutur Mora berlagak kesal dan cemberut. Ia menghela napas keras-keras sembari menghempaskan pantat di kursi sebelah Naomi dan menyisir rambut pendek selehernya yang sedikit bergelombang dengan jemari.

Kanala cuma mesem-mesem sok imut. Ia menarik kursi di sebelah Aya dan duduk melipat tangan di meja. “Temen Aya belum dateng? Gue mau pesen cemilan dulu, deh, ya,” ujarnya seraya membolak-balik lembaran menu makanan.

“Emang janjian jamber sama temen lo, Ay?” Mora ikutan mengambil lembaran menu.

“Dia bilang ‘sih jam dua belas siang gitu. Ngaret-ngaret dikit, lah. Maklum ‘kan dia ngalong ke bangunan kosong dari tengah malem buta sampe pagi,” jawab Aya. “Bentar ni gue chat dia. Tau udah bangun apa masih koma di kasur,” kedua ibu jari Aya bergerak-gerak di layar ponselnya.

“Yaudah, mending gue sekalian aja pesen maksi, lah,” kata Kanala. Ia membuka halaman menu berisi gambar makanan set makan siang.

“Kuy, lah. Pesen maksi aja kita semua. Biar enak juga nanti ngobrolnya pake perut kenyang,” Naomi ikutan melongok lembaran menu di tangan Mora.

Belum selesai mereka berempat saling berisik melempar pendapat soal menu makanan mana yang enak dan pas untuk makan siang, tiba-tiba sebuah ransel hitam mendarat di atas meja. Keempat gadis itu spontan mengangkat wajah ke arah sosok jangkung yang menaruh ransel tadi.

Senyum lebar di wajah dengan raut santai pemuda itu menyambut tatapan Mora dan teman-temannya. Mata pemuda itu sampai agak menyipit karena ujung-ujung bibirnya seperti tertarik ke atas. Tidak terdapat cambang atau kumis di wajah perseginya. Rambut hitam pemuda itu dikuncir kuda pendek. “Hai. Nggak pada kelamaan nunggu, kan?” sapa suara ringan dari mulutnya.

“Akhirnya setelah lima puluh titik lompatan dimensi, pemirsah. Ini dia yang mau gue kenalin ke Mora,” Aya merentangkan tangan secara dramatis ke arah pemuda tadi.

Pemuda itu mencebik kepada Aya. Kemudian beralih kepada tiga gadis lain. “Gue Ardan,” sapa si pemuda sembari bergantian menyalami Mora, Naomi dan Kanala. “Ini rekan sekaligus video editor gue,” ia memperkenalkan seorang pemuda lain di belakangnya.

“Fahmi,” pemuda lain tadi ikut menyalami Aya dan teman-temannya. Potongan rambut Fahmi yang pendek jabrik tampak pas membingkai wajah bulatnya. Ia mengenakan kacamata berbingkai hitam tipis di setengah bagian lensa yang berbentuk kotak. Dibandingkan dengan Ardan, Fahmi tampak agak kaku dan malu-malu. Tinggi mereka berdua hampir sama. Bedanya postur Fahmi lebih berisi, sementara Ardan tampak padat dan tegap.

Satu meja dan dua kursi ditambahkan dan digabung agar mereka berenam bisa duduk bersama di satu titik. Aya menempatkan Mora untuk duduk berdekatan dengan Ardan dan Fahmi supaya posisinya saat nanti bercerita bisa direkam dengan baik.

Lihat selengkapnya