Banyak teori yang menjelaskan soal mimpi. Bagi Mora, mimpi-mimpinya berisi pesan tersembunyi atau petunjuk dari alam lain yang masuk ke frekuensi alam bawah sadarnya.
Entah ini tampilan kejadian pertama yang keberapa kali dalam mimpinya. Mora tidak begitu ingat awal mulanya dan juga tidak menghitung. Saat itu ia berdiri mematung di depan pagar besi setinggi pinggang. Di balik pagar ada halaman berumput pendek rapi yang cukup luas dengan jalan setapak yang di semen hingga mencapai teras setinggi satu langkah kaki dari sebuah bangunan. Suasana di sana gelap. Tapi ada keremangan cahaya entah dari mana dalam jangkauan pandangan Mora yang tidak begitu jauh.
Degup jantung Mora mulai berdetak lebih cepat. Rasa panas dan dingin berdesir bersamaan di seluruh pembuluh darah, membuat tubuh Mora terasa menggigil. Matanya mencoba menajamkan pandangan melihat lurus-lurus lebih jauh ke teras bangunan. Tapi ia tidak bisa melihat apa-apa lagi di ujung sana. Hanya gelap. Berkali-kali ia coba bergerak, sedikit saja seperti mengedipkan kelopak mata. Tapi sekujur tubuhnya seperti terkunci.
Beberapa detik kemudian, telinga Mora menangkap bunyi halus. Suara desisan yang tidak jelas seperti ingin membisikkan kata-kata. Berikutnya kesadaran seolah terseret secepat kilat ke kenyataan membuat mata Mora membelalak lebar. Ia mengerjap dan mengenali keadaan di sekitarnya. Lalu ia akan terjaga dalam waktu yang cukup lama.
Lain waktu, mimpi tadi seolah berlanjut ke adegan berikutnya. Seperti memutar episode baru dalam sebuah film. Kali ini Mora berdiri di depan pagar yang sama, sekelilingnya masih gelap. Tapi pandangannya bisa melihat lebih jauh melewati teras bangunan di balik pagar.
Ada tembok dengan ambang pintu sebuah ruangan di bangunan itu. Mora kembali mencoba menajamkan penglihatan hingga bola mata terasa ngilu. Di ruangan itu tidak tampak apapun. Hanya cahaya suram menerangi ruangan yang membuatnya jadi terlihat menyeramkan. Lalu desisan suara lirih itu kembali tertangkap gendang telinganya. Ia kembali tersadar dan bangun dari tidur singkatnya. Begitu seterusnya hingga Mora tertidur dan adegan ke dua tadi berputar kembali dalam mimpi.
Setelah beberapa kali pengulangan adegan ke dua, muncul kembali adegan baru dalam mimpi Mora berikutnya. Kali ini cukup sering hadir dalam tidurnya hingga ia mengalami keadaan sulit tidur karena takut akan memimpikan hal yang sama lagi.
Adegan ke tiga di mimpi sekarang ini adalah ia berdiri tepat di depan ambang pintu ruangan yang tampak di mimpi sebelumnya. Cahaya suram dalam ruangan itu merupakan satu-satunya penerangan. Mora masih berdiri membeku. Tapi kelopak dan bola matanya bisa bergerak. Dalam ruangan bertembok semen tanpa cat di hadapannya ada tiga ruangan lagi berukuran sempit. Sepertinya ruangan ini adalah toilet di tempat umum. Posisi pintu masuk ke ketiga bilik toilet tadi berjajar menyamping dari ujung tempat Mora berdiri hingga ke ujung dalam ruangan.
Perasaan asing dan sendirian entah dimana dalam kegelapan di sekeliling membuat hati Mora serasa mencelos. Tubuhnya kembali terasa menggigil akibat desiran dingin di seluruh aliran pembuluh darah. Bisa saja sesuatu menerjangnya dari arah belakang atau samping. Bola mata Mora bergerak sejauh mungkin ke ujung pinggir rongga mata. Berusaha menangkap suatu bentuk atau siluet apapun di samping kanan dan kiri.
Degup jantung Mora kian berderap cepat seolah hendak terlepas dari tempatnya menempel. Kepalanya mulai pening. Ia mulai merasa ada sesuatu atau seseorang mengawasinya dari berbagai arah. Beberapa kali ia seperti merasakan ada embusan angin cepat sekilas yang meraba kulit leher atau tangan. Mora tidak menyukai rasa mencekam dan terancam ini. Posisinya seolah ia sasaran tembak yang empuk bagi musuh tak tampak di kegelapan belakang sana. Ditambah lagi dengan keadaan ia bagaikan kehilangan kendali akan tubuhnya.
Napas Mora mulai megap-megap tidak beraturan dan membuat dada ngilu ketika ia mendengar suara langkah kaki. Entah dari mana suara tersebut. Makin lama makin dekat dan jelas. Rasa dingin merinding aneh dan ketakutan merayap cepat dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia bisa merasakan tubuhnya bergetar hebat saat ia terisak tertahan. Serasa ada yang menyumbat kerongkongan dan mengunci mulut agar tidak bisa membuka dan teriak. Sensasi semua ini sama seperti saat ia jatuh tercebur ke danau dan tenggelam sesaat ketika dulu masih kecil. Hanya ada kegelapan ketat dan pekat membalut tubuh yang terasa kaku.