Mora duduk di kursi sebelah pengemudi sementara Fahmi duduk di kursi belakang bersama ransel-ransel mereka bertiga. Alasannya agar Mora tidak tertidur sendiri di kursi belakang. Karena wajahnya sudah menunjukkan kalau sewaktu-waktu ia bisa terlelap begitu kepalanya bersandar.
Ardan mengemudi dengan kecepatan normal. Beberapa kali ia melirik Mora yang terkantuk-kantuk dengan mata setengah terpejam. Ia dan Fahmi berusaha mengajak Mora mengobrol ringan, tapi sepertinya usaha mereka berdua tidak ada gunanya. Karena Mora tidak fokus mendengarkan dan sibuk membuat dirinya tetap terjaga. Menjawab obrolan Ardan dan Fahmi saja ngelantur, membuat kedua pemuda itu malah jadi tertawa.
“Eh, non. Cara lebih sehat dan ampuh untuk nahan ngantuk sebenernya minum air putih banyak-banyak. Jangan diforsir kafein terus,” ujar Ardan kepada Mora.
Mora yang setengah sadar hanya bergumam tidak jelas dan manggut-manggut. Entah ia mengerti atau tidak perkataan Ardan tadi.
“Lagian nggak bagus juga lo sampe nggak tidur-tidur gini. Coba lo tidurnya minta ditemenin sama salah satu anggota keluarga. Atau sama sohib-sohib lo. Jadi pas tidur nanti lo keliatan gelisah, mereka bisa buru-buru bangunin,” lanjut Ardan tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.
Mora mendesah pendek. “Lo nggak tau aja rasanya bangun tidur bukannya seger malah tambah kusut kepala dan mood,” tukasnya. Ia mengerling singkat kepada Ardan. Lalu merendahkan sandaran kursi ke belakang.
“Eh, tapi lo suka sadar apa nggak kalo pas lagi mimpi?” Fahmi mencondongkan tubuh ke tengah celah kursi depan hingga kepalanya tersembul ke atas sandaran kursi Mora.
Mora terdiam sejenak. Ia mengingat beberapa kali saat sedang bermimpi ada suatu hal yang membuatnya seperti menerka-nerka bahwa ia tengah bermimpi. “Mmm, kayaknya pernah sih beberapa kali gue ngerasa kalo lagi mimpi,” Mora memiringkan kepala menatap Fahmi.
“Nah, gue kemaren-kemaren baca soal kesadaran diri dalam mimpi. Istilahnya Lucid dream. Jadi nanti misalnya lo menyadari lagi dalam mimpi, lo bisa gerak ngendaliin diri dan alur mimpi. Macem di film Inception,” tutur Fahmi.
“Tapi, untuk bisa masuk dalam Lucid dream itu, lo mesti bener-bener tidur lelap. Bukan cuma sesaat kayak kepulesan terus kebangun. Makanya di film, mereka pake obat biar bisa tidur lelap, kan,” lanjut Fahmi.
Mora membetulkan sabuk pengaman agar ia bisa memiringkan tubuh menghadap Fahmi. Kepalanya manggut-manggut dan wajahnya berubah serius memperhatikan ucapan pemuda itu. Kantuk yang tadi menggelayuti mata tiba-tiba saja hilang mendengar penjelasan Fahmi yang sepertinya menarik buat Mora.
“Jadi supaya gue bisa dapet mimpi utuh yang nggak sepotong-sepotong, bisa pake mode Lucid Dream ini gitu?” tanya Mora.
“Hmm, teorinya sih gitu, ya. Gue juga nggak tau kalo misalnya ada yang pernah nyoba praktekin metode kayak di film gitu. Dan juga gue nggak paham gimana cara lo nanti sadar kalo lo lagi mimpi,” Fahmi malah jadi ragu sendiri. Ia mencubit-cubit dagu.
“Terakhir mimpi lo kayak gimana, Ra?” tanya Ardan.
“Pas babak kedua mimpi ini, adegannya cepet ganti-ganti. Pertama yang gue ditarik sama si anak kecil buat liat yang ada di bilik kamar mandi. Kedua pas si anak kecil kayak disembunyiin di tembok gitu. Nah, yang ketiga pas gue kayak dikasih liat kalo lokasinya itu di sekolah taman kanan-kanak gue dulu,” pandangan Mora menerawang ke langit-langit mobil.
“Hah? Disembunyiin di tembok?” kerutan dalam tercipta di pangkal hidung Fahmi membuat kedua alisnya tampak bertautan. “Maksudnya gimana?”