Temukan Aku!

Rexa Strudel
Chapter #6

#6

Sejujurnya, Ardan maupun Fahmi sama sekali tidak memiliki pengalaman gaib apapun. Mereka juga tidak pernah tahu cara untuk melihat atau bertemu makhluk halus yang biasa mereka tonton di film atau video horor di kanal online.

Beberapa teman mereka menyarankan cara-cara aneh supaya ‘subjek yang menjadi incaran untuk video mereka bisa muncul dan terekam kamera. Tapi Ardan dan Fahmi cukup tahu resikonya jika harus melakukan ritual macam-macam seperti saran beberapa teman.

Sampai kemudian Ardan dan Fahmi bertemu salah satu nyutuber kanal horor yang akan merekam di rumah kosong dekat tempat tinggal Fahmi. Jadi kedua pemuda itu ikut merekam dan mengobrol dengan nyutuber tersebut.

Mereka mendapat beberapa saran yang setidaknya cukup aman untuk dijalankan. Juga cerita dan pendapat soal hal gaib yang belum mereka dapat. Ardan ingat betul perkataan si nyutuber tersebut soal untung-untungan penampakan yang terekam kamera yang membuat kepercayaan diri Ardan dan Fahmi jadi muncul. Yang penting rekam saja terus. Masalah terlihat atau tidak di kamera itu tergantung situasi dan kondisi serta energi di tempat rekaman.

Ketika Ardan dan Fahmi tadi menyadari bahwa Mora sudah terkulai setengah berdiri di depan pagar sekolah, mereka berdua berusaha tidak panik. Ardan menyangga tubuh Mora agar tidak menggantung. Sementara Fahmi berusaha melepaskan genggaman jemari Mora di teralis pagar. Detak jantung mereka berdua mulai berderap kencang ketika rasa merinding aneh merayap naik ke punggung.

Wajah Mora saat itu tampak sangat pucat. Kedua tatapan matanya kosong. Berkali-kali Ardan dan Fahmi memanggil-manggil nama gadis itu. Tapi tidak ada respon. Fahmi berinisiatif melantunkan bacaan doa dan ayat suci. Kemudian Ardan mengikuti. Tidak berapa lama, Mora seperti tersadar dan malah menatap mereka dengan raut bingung.

Ketika Ardan menanyakan kondisi Mora, gadis itu tidak menjawab. Tatapan gadis itu terpaku ke sesuatu di balik pagar. Spontan pandangan Ardan dan Fahmi ikut tertuju ke arah Mora menatap. Tubuh Mora mengigil dan telunjuknya gemetar mengacung ke teras sekolah itu. Tapi mata kedua pemuda itu tidak mendapati apapun yang ganjil. Setelah saling mengerling dan angkat bahu, Ardan memapah Mora untuk masuk ke mobil sementara Fahmi membukakan pintunya.

Di dalam mobil, Mora duduk menggelung diri. Bahunya masih tampak naik turun cepat dan bergetar. Ardan dan Fahmi menahan diri untuk tidak berkata atau menanyai apapun kepada Mora perihal keadaan Mora tadi yang seperti orang kerasukan. Sepanjang perjalanan, terdengar suara lirih Fahmi yang masih mengucap doa-doa. Serta ada kata-kata ‘jangan ikut’ di sela-sela lantunan doa Fahmi.

Wajah Ardan masih terlihat tegang. Ia tidak menyangka akan menghadapi hal seperti tadi. Tapi dalam hati ia yakin harus bersiap diri jika ingin semua ini berlanjut. Ada percikan semangat juga di dada, siapa tahu dengan adanya Mora dan penelusuran potongan mimpinya, bakal ada perubahan atau sesuatu yang baru dalam rekaman kamera nanti. Tapi ia menyimpan pikiran tersebut untuk dirinya saja.

Sementara semangat Fahmi malah jadi agak goyah dengan kejadian Mora tadi. Ia tahu akan ada kejadian semacam itu lagi nanti. Atau bahkan lebih parah dari yang tadi. Ia hanya tidak yakin apakah nanti bisa mengatasi keadaan diri dan yang lainnya. Ia juga berdoa dan berharap dalam hati supaya mereka semua nanti akan baik-baik saja.

Fahmi mengangsurkan botol air mineral yang sudah dibuka tutupnya kepada Mora. Begitu Mora merespon dan mengambil botol lalu meneguk air, Fahmi menghela napas lega. Berarti setidaknya Mora dalam keadaan sadar. Lalu ia membantu Mora menutup botol air tadi.

Mata Ardan sesekali melirik Mora. Mengawasi keadaan Mora yang sepertinya mulai stabil. Begitu dilihatnya Mora bisa duduk bersandar, Ardan memutuskan untuk bertanya. “Gue anter lo pulang ke rumah langsung?”

Mora berpikir sesaat. Jika orang di rumah mendapati ia pulang dalam tampilan dan keadaan semrawut seperti ini, pasti ia bakal diberondong pertanyaan tiada henti. Ujung-ujungnya semua rencana penelusuran ini akan batal. Lalu mimpi-mimpi brengsek itu tidak akan pernah selesai mengganggu tidurnya. “Nggak. Jangan,” tukas Mora tanpa mengalihkan mata dari dashboard mobil.

Ardan melirik Fahmi dari kaca spion di tengah. Memberi isyarat mata agar Fahmi membantunya menenangkan Mora.

“Hmm, kita ngaso dulu ke kafe yang kemaren aja gimana?” usul Fahmi yang dibalas anggukan oleh Mora. Dan Ardan langsung mengubah rute ke kafe yang dimaksud Fahmi.

“Lo kuat jalan?” tanya Ardan ketika mobil sudah berhenti sepenuhnya di tempat parkir kafe.

Mora kembali manggut-manggut. Kali ini ia menatap wajah Ardan hingga membuat raut cemas pemuda itu mengendur. Bahkan seulas senyum tipis tampak di wajah Ardan.

Ardan memilihkan tempat di pojok teras kafe agar Mora bisa menenangkan diri dan terhindar dari orang yang lalu lalang keluar masuk kafe. Sementara Fahmi memesankan minuman dan makanan ringan.

Lihat selengkapnya