Hari jumat setelah makan siang, Mora dan ketiga sahabatnya menunggu mobil Ardan menjemput di kafe seberang kampus. Mora dan Aya yang ada kelas setelah ini, memutuskan untuk bolos. Ini juga jangan ditiru, ya. Kalau tidak ada keperluan darurat sebaiknya tidak usah bolos-bolos dalam hal apapun.
Mereka berempat mengenakan pakaian kasual yang santai dan nyaman bagi masing-masing. Mora mengenakan kaus lengan pendek abu-abu yang sedikti longgar di badan. Dipadu dengan kemeja flanel warna merah dan hitam. Ia mengenakan celana bahan kanvas ringan sebetis warna hitam dan sepatu keds bertali warna hitam putih.
Aya yang biasa berpakaian feminin, kali ini mengenakan celana jeans biru gelap yang pas dan atasan berupa kaus berwarna pastel yang juga pas dibadan berlengan tiga perempat. Sepatu keds sloped on abu-abu bergaris biru tua di kaki membuat kesan sporty.
Naomi mengenakan busana yang biasa ia pakai sehari-hari. Atasan kaus lengan panjang berukuran lebih besar dari tubuhnya berwarna krem dan celana kargo hijau tentara dengan karet di ujung bawah. Sementara kakinya mengenakan sepatu flat kasual warna hitam.
Penampilan Kanala serupa dengan Naomi. Hanya saja dalam pemilihan warna, ia seringkali asal tabrak. Tapi entah kenapa, justru ia jadi terlihat trendi dan cocok saja. Atasan kaus bergaris hijau tua lengan panjangnya ia tarik hingga siku. Dipadankan dengan celana kargo warna merah tua yang gelap. Lalu ia juga mengenakan sepatu keds ringan bertali warna cokelat tua.
“Akhirnya lo beneran ikut juga, ya,” Kanala berseru senang sembari menggoyangkan pelan bahu Naomi.
Naomi mengangguk dengan bibir mengerucut menatap Kanala. “Tapi nanti jangan sendiri-sendiri gitu kelilingnya,” ujarnya memelas.
“Iyalah. Nggak mungkin sendiri. Palingan berdua-dua. Emang dikata lagi opspek anggota OSIS apah jurit malem sendirian,” sahut Aya sekenanya.
“Tuh, produser acara kita dateng,” dagu Naomi menuding ke arah mobil Ardan yang mendekat ke depan kafe.
Mereka berempat bangkit dan berjalan keluar kafe lalu menghampiri mobil Ardan. Begitu mobil berhenti, Fahmi turun dan membukakan pintu geser bagi Mora dan teman-temannya.
Mora perhatikan mobil ini berbeda dengan yang dikendarai saat ia beserta Ardan dan Fahmi ke sekolah kemarin. Mobil ini sejenis van yang dimodifikasi. Bagian tengahnya dibuat tanpa kursi, tapi ada bean bag mini warna warni bertumpuk di sudut. Lantai mobil dialasi karpet tebal yang tampak bersih. Ada pembatas berupa papan untuk menaruh barang di bagasi bagian belakang mobil.
“Ih, rapi juga ini daleman mobilnya, sist,” desis Naomi kepada ketiga sahabatnya. Raut wajahnya hampir sama seperti Mora, Aya dan Kanala – takjub.
“Iya, jenk. Kirain bakalan acakadul dekil bau rokok bin kaus kaki,” tambah Aya membuat mereka berempat jadi cekikikan tertahan.
“Duduknya nggak apa-apa pake bean bag aja, ya,” Ardan menyorongkan kepala dari kursi kemudi kepada Mora dan yang lain.
“Iya nggak apa-apa. Keren banget ini sih mobil,” tukas Naomi jujur. Kedua jempolnya teracung bergantian ke arah Fahmi dan Ardan dengan sebelah mata mengedip.
Ardan dan Fahmi hanya tersenyum lebar. “Yuk, naik. Nanti takut keburu sore,” ajak Fahmi. Ia menunggu sampai semua duduk baru kemudian menutup pintu mobil dan ia kembali duduk di sebelah Ardan.
“Kira-kira nanti kita mulai jam berapa?” Aya menaruh lengan di senderan kursi Fahmi dan menopang dagu.
“Pokoknya pas banget matahari udah nggak keliatan, kita mulai,” jawab Ardan tanpa menoleh kepada Aya.
“Lho, kirain mulainya tengah malem gitu,” samber Kanala dengan kedua alis terangkat menatap belakang kepala Ardan.
Fahmi memiringkan tubuh supaya bisa melihat ke belakang. “Jadi, kita kemarin-kemarin dapet info dari temen sesama pejuang kanal video horor. Ada satu metode biar kita bisa ada interaksi sama ‘yang lain’,” jari Fahmi membuat isyarat tanda kutip.
“Heh? Maksudnya ritual manggil setan gitu? Pake kemenyan? Atau main papan jelangkung?” Naomi terdengar serak. “Akh, kalu mesti gitu-gituan gue nggak mau ikut,” rengeknya.