Ardan memberi isyarat tangan kepada para gadis untuk mundur. Ia dan Fahmi mendekati pria tua itu sembari tersenyum lebar tapi dengan sikap waspada. “Maaf sebelumnya. Apa bapak pemilik tempat ini? Kami sebelumnya sudah izin dengan ketua RT akan bikin video di sini. Ini kami dipinjami kunci,” Ardan mengeluarkan kunci dari saku dan memperlihatkan kepada si pria tua.
Pria tua itu mengkerutkan dahi lagi. “Bikin video apa? Hayo. Jangan sembarangan di tempat orang!” bentaknya lagi. Ia menghentakkan kaki keras-keras seolah mengusir gerombolan ayam liar yang masuk ke kebun sayur.
“Mmm, jadi gini, pak. Kami ini mahasiswa perfilman. Ada tugas buat bikin film pendek. Jadi kami putuskan bikin film horor di sini,” tutur Ardan sesopan mungkin. Ia tidak mau membuat pria tua ini malah makin kesal dan mengamuk.
Dalam hati, teman-teman Ardan memuji ketenangan dan otak encernya dalam situasi menegangkan semacam ini. Kalau saja tidak ada Ardan, bisa dipastikan mereka semua kocar kacir kabur atau ke rumah ketua RT.
“Bikin film? Suting gitu?” tanya pria tua itu sedikit tertarik. Suaranya masih tinggi, tapi tidak bernada marah lagi.
Ardan mengangguk lamat-lamat. “Betul sekali, pak,” jawab Ardan. Wajahnya ia buat seramah mungkin.
Pria tua itu tampak bergumam sendiri. Kepalanya sesekali mengangguk, lalu dengan cepat menggeleng. Seketika ia kembali menatap para anak muda di halaman sekolah. “Saya ini diberi amanah sama yang punya tanah ini buat ngecek dan bersihin seminggu sekali. Kalo memang kalian mau suting, saya bisa ikut bantu juga. Ada yang perlu saya angkut-angkut?” ujarnya bersemangat.
Ardan langsung melirik Fahmi yang menggeleng samar. “Aduh, mohon maaf sekali, pak. Kami ini kan bikin film pakai kamera kecil sama laptop aja. Jadi nggak perlu ada angkut-angkut lagi. Mohon maaf, pak,” kedua telapak tangan Ardan mengatup di depan dada sembari agak membungkuk ke arah pria tua.
Pria tua itu berdecak kesal. “Yasudah. Gini aja. Saya akan mengawasi kalian sampai selesai suting. Soalnya kalau sampai ada secuil kerikil hilang, nanti saya kena omel,” ujarnya dengan jengkel. Gerak geriknya terlihat gelisah.
Ardan mengusap wajah dengan satu tangan. Sementara satu tangan lain berkacak pinggang. “Emang mesti banget gitu diawasin, pak? Lagian apa yang bisa diambil di sini, pak? Kursi sama meja reyot yang udah kropos dimakan rayap?” ujar Ardan. Ia masih bisa mengendalikan diri untuk tidak terdengar jengkel.
Fahmi maju ke sebelah Ardan sembari memegang ponsel. “Maaf. Kalo boleh tau, bapak ini namanya siapa? Biar saya telepon ke pak RT untuk mastiin betul atau tidaknya yang bapak bilang tadi soal diberi amanah sama pemilik tempat ini,” ujarnya sembari menunjukkan nama dan nomor kontak pak RT yang tertera di layar ponsel kepada pria tua tadi.
Pria tua itu tampak gelagapan dan salah tingkah. Mata yang tadi menyorot garang berubah jadi gelisah dan bergerak kesana kemari. “Pak RT itu mana mau kenal sama saya. Dia juga baru berapa bulan dilantik jadi RT. Lagian juga dia nggak pernah kontrol ke rumah atau bangunan kosong di sini. Bikin repot saya juga kalo ada kenapa-kenapa,” kata pria tua itu dengan gusar.
“Lho, tetap saja kan saya harus pastikan dulu soal identitas bapak ini. Mana kami tau juga kalau ternyata malah… bapak yang mau mengambil sesuatu di sini,” pancing Ardan dengan memicingkan mata.
“Hhh… anak muda jaman sekarang ini bisa aja ngebantah orang tua. Kualat baru tau rasa,” gerutunya. Ia berbalik dan perlahan melangkah pergi. Tapi kepalanya masih sesekali menengok ke arah sekolah dengan bibir bergerak-gerak dan wajah merengut.
Ardan dan yang lain masih berdiri terpaku mengawasi pria tua itu sampai benar-benar menghilang di belokan jalan. Terdengar helaan napas lega dan gumaman dari bibir mereka saat pria tua itu tidak tampak lagi.
Ardan mendesah sebal saat melihat jarum jam di pergelangan tangan. “Aduh, jadi kemakan waktu kita nih. Yuk, pasangin kamera sama lampu dulu. Abis itu kita makan sambil nunggu matahari terbenam,” ajaknya. Lalu ia dan Fahmi kembali ke mobil untuk mengeluarkan dua buah koper hitam yang cukup besar serta tiga kotak pizza, enam botol air mineral dan segulung koran bekas. Kanala dan Naomi menawarkan diri untuk membawakan pizza dan air.
Fahmi membukakan kunci gembok ruang kelas pertama yang paling dekat dengan gerbang. Aroma debu langsung menerpa begitu pintu dibuka. Aya dan Mora yang berada di samping Fahmi langsung mengibaskan telapak tangan di depan wajah mereka. Sementara Fahmi spontan mundur sambil bersin beberapa kali.
“Wuaduh. Komplit ini. Debu campur virus,” gurau Naomi sambil menutup hidung dan mulut.